Pecahkan Masalah Cukup 1 Jam Bersama Nabi

Banyaknya problema manusia pada zaman sekarang sesungguhnya sudah terjadi juga sejak Rasulullah masih hidup, hanya saja bentuknya yang berbeda. Sejarah manusia dengan peradabannya nyaris merupakan pengulangan. Peran yang dilakukan oleh manusia sekarang merupakan peran yang sama seperti umat terdahulu.

Ibu, Samudera Kasih Sayang Berpantai Rindu

Bagaimana jika ibumu bukan ibu terbaik di dunia? Satu pertanyaan dalam salah satu bukunya Fahd Pahdepie. Akan aku coba untuk menjawab. Ibuku mungkin bukan ibu yang terbaik di dunia, ibuku bukanlah seorang sosok yang harus dikagumi, bukan seorang sosok yang patut dibanggakan, dan bukan sosok yang dikenal banyak orang.

Ayah dan Jarak yang Memisahkan Kita

Ayah, apa kau tau bagaimana reaksiku ketika orang lain bertanya. “Ayahmu kerja apa? Umurnya berapa? Kapan ulang tahunnya? Hari ini hari Ayah lho! Udah ngucapin selamat pada Ayah?” Kau tau yang aku jawab apa, “entahlah”. Bahkan berapa persisnya umur Ayahku aku tak tau. Aku tau apa kerjamu, bahkan ribuan pal jarak kita terpisah aku masih ingat betapa banyaknya keringat yang kau curahkan demi menghidupi keluargamu.

Satu Setengah Bulan

Sudah di penghujung Maret. Artinya sudah satu setengah bulan berlalu sejak awal semester delapan. Selama itu juga aku belum merampungkan proposal penelitianku. Banyak teman-teman sudah menunaikan kewajibannya sebagai mahasiswa tingkat akhir, yap penelitian. Kadang aku merasa tertinggal, kadang juga merasa “ah masih ada waktu kok”, kadang sempat terfikir kenapa waktu cepat sekali bergulir? Atau karena aku yang masih sibuk dengan kegiatan ekstrakulikuler kampus.

How to choice

Aku terlalu takut untuk memilih. Aku terlalu rapuh untuk tertolak. Apakah mereka yang aku anggap selalu tidak menganggap keberadaanku? Aku hidup bukan untuk membuat orang lain saja yang nyaman. Dalam hidupku, aku butuh kenyamanan. Meskipun aku harus keluar dari zona nyaman. Minimal aku bisa merasakannya saat aku berhenti dari rutinitas. Aku ingin jadi orang sibuk, ingin merasakan bagaimana berjuang untuk mendapatkan kenyamanan itu.

Selasa, 08 Maret 2016

How to choice?


Aku terlalu takut untuk memilih. Aku terlalu rapuh untuk tertolak. Apakah mereka yang aku anggap selalu tidak menganggap keberadaanku? Aku hidup bukan untuk membuat orang lain saja yang nyaman. Dalam hidupku, aku butuh kenyamanan. Meskipun aku harus keluar dari zona nyaman. Minimal aku bisa merasakannya saat aku berhenti dari rutinitas. Aku ingin jadi orang sibuk, ingin merasakan bagaimana berjuang untuk mendapatkan kenyamanan itu.

Aku hidup dengan penuh keraguan. Hanya mengikuti alur yang ada, begitulah aku hidup. Tanpa bisa berharap lebih. Aku selalu ingin jadi orang yang bersyukur terhadap anugerah sekecil apapun. Bersyukur diberi kesehatan, diberi kesempatan menuntut ilmu, diberi kesempatan menjelajah alam, kesempatan bergaul dengan kaum intelek, dan pastinya bersyukur diberi keluarga yang masih bisa aku jumpai ketika kembali ke rumah.

Aku bisa dibilang adalah orang yang tidak memiliki rasa percaya diri jika berhadapan dengan orang berpendirian teguh sekalipun mereka childish. Menurutku orang yang bersikap manja atau kekanak-kanakan mereka bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya. Sedang aku? Kadang jiwa sensitifku keluar begitu saja. Mendengar nada tinggi seorang berbicara padaku, aku kemudian menyimpulkan orang tersebut tidak asik. Mendengar perintah dari teman sebaya seolah aku adalah adiknya, aku tidak bisa terima. Melihat seorang teman yang harusnya dekat denganku, namun dekat dengan orang lain membuatku menjaga jarak dengan mereka.

Misterius, mungkin itu bisa jadi ciri khas ku. Terkadang periang, kadang kala pendiam. Aku ingin memilih salah satunya sebagai khas ku. Tapi bagaimana mungkin? Aku suka humor, namun aku tidak suka berlebihan. Aku senang melihat orang kalem, tapi ketika aku berusaha kalem tak bisa kuhindari cemoohan pasti ku terima.

Aku ingin suatu saat nanti aku bisa memutuskan untuk memakai khas itu. Entah salah satunya, atau dua-duanya. Aku paling tidak suka jadi orang peragu. Ragu-ragu menurutku tidak akan membuat kita sukses. Itulah fenomenaku. Apapun itu, aku ingin keraguan ini lenyap. Aku ingin cepat keluar dari kampus ini. Aku ingin beraksi, aku ingin mengabdi, bukan untuk kepuasan diri tapi benar-benar bermanfaat untuk negeri.

Mengenai teman. Aku paling sensitif masalah ini. Masalahnya aku tidak punya sahabat kental yang lengket kayak perangko kemana-mana selalu berdua. Sahabat yang tau seluk beluk hatiku. Mereka yang paham betul siapa aku. Aku sesungguhnya banyak menyimpan perasaan. Perasaan sayang, suka, duka, senang, sedih, dan ilfeel. Apa aku perlu mengajak seseorang bicara? Dari hati ke hati. Aku rasa aku terlalu banyak tertawa di depan mereka. Sehingga mereka menganggapku orang yang selalu riang. Mungkin benar. Orang yang terlalu banyak tertawa adalah yang hari-harinya kesepian.

Aku paling tidak bisa berkata-kata manis. Tapi ketahuilah, ketika aku berbalik melihat seorang teman yang terluka aku akan mengatakan “semuanya akan baik-baik saja”, (sungguh aku terlalu banyak nonton film korea. :D). Ketika aku mengatakan aku akan pergi menemui mereka tanpa alibi lain, tandanya aku ingin mengungkapkan bahwa aku sayang mereka. Aku tidak mau kehilangan puzzle hidupku (teman-teman), bagiku teman-teman adalah puzzle hidupku yang harus aku kumpulkan lagi supaya menjadi lukisan yang indah.

Teman-teman adalah anugerah dari Allah untukku agar aku bisa memberikan perhatian, pertolongan, kebersamaan, dan agar aku bermanfaat bagi mereka. Agar aku hidup tidak untuk membunuh waktu saja. Agar aku bisa bermanfaat bagi orang lain di luar keluarga. Bagiku, memiliki teman-teman yang sehati dan sejalan denganku adalah anugerah yang patut aku syukuri. Hanya beberapa orang saja, tidak banyak. Tidak banyak yang sepemikiran denganku.

Semoga saja, ada orang yang selalu mengikutsertakan aku dalam doanya. Sekarang ini mungkin masih jauh dariku, mungkin masih berada di belahan bumi lain, atau mungkin belum mengenalku. Seseorang yang aku harapkan dapat mengerti cara pikirku, paham jatuh bangun semangatku, kenal sejarah kesuksesanku, dan mengerti akan segala hal tentang aku dan keluarga. Seseorang yang dapat menggantikan posisi imam minimal seperti Buya pada Umi, seseorang yang dewasa, seorang yang paham tindak tandukku, dan yang paling aku rindukan suaranya saat membangunku untuk melaksanakan ibadah Subuh berjamaah. 

Jika aku berharap kayanya seperti Nabi Sulaiman, aku takut ia tak tawadu’. Jika aku berharap tampannya seperti Nabi Yusuf, aku sadar bahwa parasku tak secantik Zulaikha. Jika aku berharap ia dari keturunan terpandang, aku takut minder karena keluargaku hanya pelaku bisnis kecil-kecilan. Apalagi mengharap solehnya seperti Rasulullah? wallahualam, aku yang sering berbuat dosa, banyak salah dan khilaf sungguh masih jauh dari kata soleha, apakah mungkin?


Dunia Semu*


Gila! Dunia ini membuatku gila. Gila sungguh gila, membuat orang seakan tak percaya. Segala kegilaan yang kurasa tak sama seperti yang kau rasa. Kau beruntung teman, lahir dan tumbuh di lingkungan orang terdidik. Sedang aku, apa kau tau? Aku tak seberuntung kau.

Aku harus memotivasi diri sendiri, seorang diri memerangi bejatnya dunia semu. Memikirkan sendiri manfaat dari segala tindakanku dan belum bertemu tempat mengadu, selain Tuhan.  Aku paham betul, aku tak seperti kau. Aku harus berusaha keras agar bisa menyaingi kau, tapi bukan itu yang ku cari, aku tak ingin bersaing. Yang ku tau aku tak sepandai kau, aku tak sekuat yang kau kira. Aku tak setangguh yang kau lihat. Aku rapuh, aku butuh kau teman.

Berdiri, terjatuh dan terinjak, itulah hidupku. Baru mau bangkit, lagi-lagi jatuh. Dan sekarang, semunya dunia membuatku semakin terpuruk. Aku tak mapan seperti kau, tak punya aset seperti yang setiap saat bisa kau ambil. Aku tak punya seperti apa yang kau punya. Tapi aku beruntung, bisa mengenalmu di dunia semu.

Kau tumbuh di tempat yang subur, aku tumbuh di padang gersang. Kau tumbuh di tempat orang penyayang, aku tumbuh di lingkungan kaum cuek bebek. Aku dan kau memang tak pernah sama, meski aku berusaha menyamaimu tetap saja kau lebih unggul. Aku tak punya niat untuk iri kepadamu, aku malah bersyukur. Tuhan telah mengenalkanku pada dunia yang semu.

Tuhan memberitahuku lewat firman-Nya, aku adalah pemimpin diriku sendiri. Tak boleh berlama-lama dalam kesedihan, lalu ku jalani saja hidupku. Tak ku sangka kau juga menjalaninya, kita berjalan di dunia semu. Lalu aku mulai belajar dari firman-Nya lagi, aku tahu dunia semu tak akan kekal abadi. Kita lahir dan tumbuh adalah kehendak-Nya.

Dia menginginkanku, untuk bersyukur dalam kondisi bagaimanapun. Selalu mengingat-Nya dikala prahara datang melanda.  Hidupku penuh prahara teman, bagaimana denganmu? Tuhan menitipkanku di tanah gersang. Agar aku berusaha, agar aku tegar dan kokoh sekalipun diterpa badai. Aku tak boleh lemah, aku harus kuat. Tak sama mungkin seperti kau, banyak yang menaungi dan banyak yang mendukung.

Kehidupanku sungguh berbeda, teman. Selalu saja ada masalah yang sepele menjadi bertele-tele. Biar kulihatkan padamu esok hari, berapa liter air mataku tumpah demi menahan rasa sakit, berapa liter keringat yang ku peras demi tercapainya tujuanku. Berhenti membayangkan bahwa aku adalah seorang pekerja keras. Aku menahan sesak, aku mencoba bertahan di dunia semu.

Akupun akhirnya tahu bagaimana rasa setiap ujian yang kulalui. Aku harus sabar, sabar dan terus bersabar agar level ketaqwaanku meningkat. Agar aku merasakan bagaimana perasaan orang-orang tertindas. Ingin ku bertanya, apa aku sanggup? Apa pula rahasia indah dibalik semua ini? Banyak yang tak paham perasaanku, tapi Tuhan Maha Mengetahui.

Tuhan selalu menghibur hatiku bahwa Dia menyertai orang yang bersabar. Aku coba teman, aku terus mencoba, tapi air mataku kembali tumpah. Oh, Tuhan ampuni hambaMu. Aku terlalu rapuh, Aku terlalu ringkih, namun aku mencoba sadar bahwa semua ini hanya semu. Aku dan kau adalah semu, dunia ini begitu semu untuk diratapi. Aku yakin, Tuhan memberikan apa yang dibutuhkan hamba-Nya bukan yang diinginkannya. Tuhan menguji kesabaranku dalam perbedaan latar belakang kita, agar nanti jika aku sukses aku tak menyia-nyiakan nasib orang sepertiku.

Tuhan ingin aku tegar, ingin agar aku kokoh meskipun dilanda hujan badai. Tuhan memberiku sakit, agar tingkat kesyukuranku ketika sehat tidak menurun. Tuhan memberiku teman yang tak mengerti perasaan, agar aku selalu menjaga perasaan dan menghargai segala rasa. Tuhan mengizinkanku mengambil kesempatan, agar aku bersyukur mendapat kesempatan yang belum tentu dimiliki orang lain.

*(Bogor, November 17th 2013)

The Life Crisis


Sebenarnya jika bicara life crisis. Aku sudah mengalaminya berkali-kali.
Bagaimana tidak?

Aku tidaklah seberuntung orang yang memiliki sahabat karib, yang semua suka dukanya dibagi bersama.
Aku tidaklah seberuntung orang yang hidup dengan keluarga yang utuh.
Aku tidaklah seberuntung orang yang mempunyai tempat untuk mengadu dan berkeluh kesah.
Aku tidaklah seberuntung orang yang dengan cepatnya bisa menentukan arah hidup setelah tamat kuliah.
Aku tidaklah seberuntung orang yang bisa dengan lancar, menunjukkan baktinya kepada Ibunya.
Aku tidaklah seberuntung orang, yang sekali ajak orang lain mereka langsung mengikutinya.

Aku adalah orang yang kenyang dengan penolakan-penolakan.
Aku adalah orang yang tidak begitu dipercayai. Adalah orang yang seringkali merasa sepi ditengah keramaian. Seringkali merasa minder, kenapa terlahir dalam keluarga yang jauh dari kata sejahtera.

Aku sering juga merasa resah.
Mau jadi apa setelah ini? Mau kemana dan mau ngapain setelah lulus?
Aku rasa, hal ini mungkin jadi keresahan semua mahasiswa tahun akhir.

Ada satu hal lagi yang aku resahkan. Penyakitku.

Ya, aku selalu sakit setiap hari. Sakit karena aku sering lupa. Sakit karena memang fisikku yang lemah. Sakit saat melihat orang lain akrab, sedangkan denganku dia begitu dingin. Sakit saat ajakan ku ditolak. Sakit saat melihat orang yang aku pedulikan, berbalik menjadi cuek terhadapku. Sakit melihat orang yang tidak mau peduli dengan perasaan orang sekitarnya. Sakit fisik dan sakit hati.

Ada banyak PR untuk seseorang yang akan menuntunku ke surga kelak.
Meskipun bukan seorang dokter atau psikiater. Aku ingin dia bisa mengobati sakitku.
Tapi meskipun begitu. Aku adalah orang yang beruntung yang berusaha menjadi bijak dengan jalan hidup yang jauh berbeda dari kebanyakan orang. Aku sedang berusaha mensyukuri hidup dengan cara memandang hidupku dari sisi yang berbeda.

Aku selalu yakin, suatu hari nanti akan ada seseorang yang membawa hidupku ke arah yang lebih baik. Membawa aku dan keluargaku untuk bisa bertahan hidup dalam kerukunan.


Membawa hatiku kemanapun dia pergi.

when you asking me, who am i?

                                    
Siapa aku?

Saat kau lihat beberapa anak muda sedang becanda di pinggir jalan, mengejek satu sama lain dan saling tertawa itu mungkin saja adalah aku. Lalu saat kau melewati halte bis, lihat saja kalau ada yang tak sabar menunggu ataupun bolak balik melihat kedatangan bus mungkin saja itu aku. Ketika kau melihat salah seorang penumpang bis/kereta tertidur dengan wajah tertutup masker bisa jadi itu aku. Dan ketika kau turun dari bis, perhatikan saja jika ada yang membawa banyak tentengan dari kampung sehabis liburan semester bisa jadi itulah aku.

Aku adalah anak kampung polos dan lugu yang sedang mencari jati diri dan mencoba menjadi orang berkarakter dengan cara menuntut ilmu. Sangat gampang sekali tertawa. Mudah terharu. Suka ngomong seadanya. Tak suka pilah-pilih teman. Suka gugup jika harus bicara di depan umum. Suka keselipan bahasa daerah jika sedang berinteraksi di kelas. Suka sekali mendengar musik. Apalagi musik pagi asrama yang menentramkan hati. Serasa di pesantren, kata temanku. Duh, aku pengen sekali jadi santri. Punya hafalan, ibadah tepat waktu, dan lancar ngomong bahasa Arab. Aku senang sekali mendengarkan curhatan teman, dengan sesekali menimpali bahwa “aku berbeda” atau “ternyata kita sama”.

Dari kerabat dan dari teman yang suka kupinjam novelnya mereka bilang aku suka membaca. Dari teman-teman sepermainanku mereka bilang aku cukup pintar. Dari Bu Guru yang nilai Bahasa Indonesia ku bagus, katanya aku jago bikin puisi. Dari sahabat pena yang kukirimi surat katanya tulisanku menyentuh. Dari guru musik, aku belajar memainkan nada yang katanya musikku sumbang. Dari guru kesenian, aku sering dapat pujian katanya lukisanku hidup. Dari guru Matematika, logikaku bagus tapi memang cenderung ceroboh. Dari keluargaku sendiri mereka bilang aku teledor, payah, dan boros. Tapi apapun kata mereka, aku setuju. Aku adalah apa yang orang lain nilai tentang diriku.

Seiring bergantinya waktu, berkurangnya usia, dan bertambahnya umur. Sekarang aku menyadari bahwa aku bisa saja membuat semua orang terkesan. Dengan cara apa? Ya dengan cara lulus Perguruan Tinggi favorit di kota ini. Lalu tinggal jauh dari orang tua, sekarang mereka bisa lihat kemandirianku bertahan hidup dalam keterasingan. Lalu saat kampus mewajibkan ikut acara Bina Bakat Minat dan Kepemimpinan, aku seperti menemukan kembali caraku merayakan hidup. Disini aku belajar, bahwa kita sebagai manusia punya bakat sejak lahir. Jika tidak mengasahnya maka bakat tersebut tak berarti apa-apa. Berbeda dengan minat, ini merupakan suatu daya tarik terhadap suatu hal setelah menjalani metamorfosa hidup. Lalu jika bisa mengasah bakat dan mengetahui minat kita, maka kita sudah bisa jadi leader minimal bagi diri sendiri.

Aku bukanlah gadis yang selalu riang seperti kebanyakan orang lain lihat. Aku juga bukanlah anak manis yang baik hati seperti yang orang lain lihat. Aku juga bukan orang kaya banyak harta, terbukti dari lolosnya aku sebagai mahasiswa penerima beasiswa. Aku bukanlah orang yang pintar di kelas,  tapi selalu berusaha untuk belajar lebih serius. Aku bukan juga orang yang selalu cuek terhadap penampilan, tapi aku usahakan agar penampilanku nyaman dan terlihat simpel. Aku juga bukan orang cantik yang menjadi bunga desa. Pandai memasak apalagi, masih jauh dari kemampuanku sebagai perempuan minang. Entah siapalah aku ini, banyak bukannya saja. Hahaha

Riang adalah caraku menyembunyikan luka. Bersikap manis di depan orang yang lebih tua, adalah caraku agar tidak diceramahi.  Selalu berusaha terlihat cukup materi di depan teman-teman, agar mereka tak mengasihi hidupku yang serba pas-pasan. Terlihat begitu menjaga penampilan, tentunya bukan dengan barang pinjaman. Aku selalu berusaha agar apapun yang aku kenakan, tidak mencontoh gaya orang lain. Aku ingin jadi diriku sendiri.

Hari ini aku tertohok, banyak sudah peristiwa per-teman-an yang membuatku jera. Tak kusangka, hidupku selalu mengalami pertemanan yang sulit. Mencari musuh sangatlah gampang menurutku, namun mencari teman susahnya minta ampun. Tak jarang aku harus berkorban waktu, perasaan, materi, bahkan teman itu sendiri untuk mendapatkan teman lainnya. Kadang aku iri dengan pertemanan yang dimana ada si A pasti ada si B, atau sebaliknya. Aku juga ingin seperti itu kadang-kadang.  

Lalu hari berikutnya aku bahagia. Banyak teman yang peduli tentang nasibku. Bertubi-tubi BBM masuk, untuk mengingatkan dosen pembimbingku sudah di kampus atau ketika aku ulang tahun. Lalu juga ada teman yang meluangkan waktunya untukku. Menemaniku ke gramedia, berenang, penelitian, bahkan hanya untuk sekedar killing time bareng. Kadang aku merasa sibuk sendiri punya banyak teman yang berbeda karakter. Misalnya Senin, menemani si A sampai selesai sidang. Selasa menjadi kurir snack si B yang mau seminar. Rabunya jadi ojek si C ke toko kimia. Kamis jadi tour guide teman beda kampus yang mau pinjam buku di perpus. Jumat dan Sabtu nginap di sekretariat pers mahasiswa nemanin mbak PU yang lagi galau. Sibuk ciin J

Kadang hidupku sepi melompong gak ada teman yang bisa diajak ngomong. Kadang rame betul sampe-sampe dibilang banyak fans karena semuanya ngajak aku ngomong. Kadang ceria banget karena tulisanku terbit, atau saat ditransfer duit sama kakak. Kadang melarat banget sampe galau mau puasa aja seminggu atau ngutang sama teman. Kadang benci banget liat teman sahabatan berdua terus kayak perangko. Kadang senang banget dengan kesendirian karena bebas kemana-mana sesuka hati. Kadang gabut banget, gak tau mau ngapain kayak orang begok. Kadang sibuk banget sampe-sampe waktu 24 jam buat menyelesaikan target sehari itu gak cukup.

Paling kesal sama orang cuek, gak peduli sekitar. Aku orangnya bisa dibilang cukup ramah, mudah tersenyum, atau penyapa (preet) emang iya. Tapi kalau udah dicuekin sekali-dua kali. Jangan harap bakal mendengar sapaan aku lagi. Capek dikacangin. Paling malas berinteraksi sama orang pemalas. Malas bangun, malas mandi, malas bersih-bersih, malas beresin rumah, malas keluar rumah, malas berinteraksi sama orang lain, kecuali orang-orang tertentu. Atau sekedar menjawab tanya kita aja malas, ngapain bertanya toh gak bakal dijawab. Kadang aku berpikir sendiri, bagaimanalah nasib mereka (si pemalas) di masa depan. Sedangkan untuk makan perut sendiri aja, malas mencari keluar. Ujung-ujungnya nitip ke teman. Plis deh, jangan ngandalin teman melulu, gerakin badan lu. Katanya pemuda Indonesia, katanya mau majuin negeri sendiri, lha untuk dapat mengisi perut aja nitip terus.

Paling geram lihat orang yang membeda-bedakan sikap ke teman. Aku paling anti sikap begini nih. Di depan orang banyak mereka ketawa-ketiwi. Di depan kita, atau sebut saja face to face sama aku, dia malah manyun atau diam seribu bahasa. Bukan seorang-dua orang nih yang begini. Paling kecewanya itu ya, sama teman kita sendiri dia ngomongnya beuh lancar deras tralala dan selalu ada bahan omongan. Giliran kita nanya, jangankan ditanggapin, malah telinganya jadi budeg seketika. Entah efek teknologi, atau peraturan darimana yang berlaku : kalau di depan orang ramai pasang muka seramah mungkin, seceria mungkin dan semenarik mungkin. Di depan saya, jangankan pasang tampang bermuka dua (di luar senyum, di dalam manyun) malah pasang tampang pura-pura gak kenal. Haduh, haruskah aku bersenandung “Apa salahku? Kau buat begini, kau tarik ulur hatiku hingga sakit yang kurasa...”.

Aku sebenarnya orang yang easy going, santai, care, dan idealis. Tapi akhir-akhir ini karakterku itu seperti sedang susah keluar. Banyak faktor penyebabnya. Bisa saja karena orang yang kutemui setiap hari di tempat tertentu terlihat manyun, akupun jadi malas senyum. Bisa jadi orang yang sering kutemui akhir-akhir ini tidak begitu care, aku malah jadi ketularan cuek. Bisa juga karena tidak menemukan kriteria orang yang santai, mengajakku berinteraksi dan membuatku nyaman. Atau memang sudah ditakdirkan untukku, bahwa di tahun-tahun akhir masa studiku sebagai mahasiswa S1 aku akan menemukan orang-orang berwajah masam, sering berkata kasar, orang yang sudah punya partner in crime masing-masing, atau menjadi orang idealis yang tulisannya disebut provokator atau pemecah belah silaturahmi. Ah, sudahlah anggap saja ini intermezo hidupku. Bisa jadi disini aku diberikan training untuk menjadi leader mereka nantinya. Biar jika nanti aku jadi bos, aku sudah bisa mengantisipasi karakter bawahan yang aku pimpin.


Begitulah aku, si mahasiswa tahun akhir yang nyaris bangkotan di kampus. Sampe-sampe karakter yang aku idam-idamkan tergilas karena jadwal hidup mahasiswa tahun akhir tak menentu. Beda dengan semasa masih kuliah dulu, jadwal kita ada. Target bisa kita tentukan. Nah sekarang, jadwal bisa berubah sepanjang waktu. Karakter pribadi sedang berada di puncak dan bisa mencapai titik labil selabil-labilnya.

Semoga gelar mahasiswa tahun akhir ini cepat lepas. Semoga kejadian demi kejadian di tahun akhir ini menjadikan aku orang yang tangguh. Semoga apa yang orang sangkakan terhadap kejelekanku terjawab karena semua yang kulakukan adalah untuk meyakinkan orang-orang dan membuat mereka belajar dari pengalaman hidupku. 

Intermezzo Hidup

Hari ini hujan turun sepanjang hari. Aku takut ketularan malas dari teman yang masih asik bergumul dengan selimut. Ku kuatkan tekad untuk melanjutkan membaca sambungan buku bacaanku. Setelah ritual Subuh tentunya, kurebahkan tubuhku yang masih rindu akan empuknya kasur di pagi yang dingin. Tak sampai dua jam. Alarm pukul 08.00 ku berbunyi. Ternyata aku tertidur dengan tangkupan buku di badan. Langsung bergegas ke kamar mandi dan tak lupa menggosok gigi. Setelah itu ku lihat lemari. Masih seperti yang kemaren, berantakan. Lalu kutarik sepasang baju dan rok jeans favoritku, yang lainnya ikut keluar. Hah, dasar cewek macam apa aku ini. Sambil manyun, ku setrika juga pakaianku. Andai aku punya lebih banyak waktu. Pasti pakaianku tak seberantakan itu.

Lalu kupasang jilbab, seduh susu coklat panas, dan mulai mengemaskan isi ransel. Laptop, buku catatan, buku bacaan, alat tulis plus segala jenis kunci-kuncian, logbook penelitian, print out metode penelitian, kartu kendali seminar, segala macam charger, HP, camdig, dan dompet. Jika memungkinkan aku bawa bekal, mukena, sendal jepit, dan katalog. Aku juga tidak tau, darimana datangnya kekuatanku mengangkut muatan sesarat itu ke kampus. Setiap hari lagi. Penelitianku memang terikat harus ke kampus setiap hari selama sebulan ini. Jika kupikir-pikir sepertinya ranselku memang sudah sarat muatan sejak jaman dino saurus masih ada (hahaha). Ternyata di luar masih gerimis. Jadilah saya tempuh saja hujannya.  

Kenapa kubilang intermezzo hidup?

Ya, biar ku urai satu persatu intermezo hidupku. Sebenarnya aku merasa lucu saja. Jadi kura-kura ninja setiap ke kampus tapi jumlah semester kuliah tetap boros. Kadang jadi orang paling sejahtera karena tak perlu khawatir masalah dompet. Kadang jadi orang paling fakir sedunia, mulai dari fakir WiFi, fakir pulsa, dan fakir uang jajan yang paling parah. Pernah jadi orang paling rajin datang ke kampus sampai jadi orang  yang terbuai beratnya gravitasi kasur. Pernah juga jadi orang paling nelangsa karena dibilang jodohku belum lahir.

Itu namanya kompleksitas mahasiswa tahun kahir keles. Ya tetap saja, nasib selalu berputar dan mempermainkan saya. Saya minta dimudahkan dalam urusan bisnis, Allah kasih konsumen yang banyak cincong. Saya minta semoga penelitian saya cepat selesai, Allah kasih jalan kalau penelitian saya cuma bisa selesai dalam kurun waktu berbulan-bulan. Saya minta rejeki saya lancar, Allah kasih kesempatan saya jadi fakir segala kebutuhan hidup. Saya minta supaya punya teman yang pengertian, care, dewasa dan bisa menghibur. Allah kasih teman yang banyak nuntut, manja, kadang curigaan, pemalas, suka ngeledek, sering bikin jengkel, berantakan, dan cuek sama saya.

Pernah suatu waktu yang bikin saya paling nelangsa. Teman-teman saya umumnya pernah memiliki kekasih. Ada yang jomblo punya mantan, lagi PDKT, dan punya gebetan. Mungkin cuma saya disini yang belum pernah merasakan jadi tambatan hati seseorang.  Maklum, saya penganut single dari lahir (miris). Saya yang seratus persen mendukung JOSH (Jomblo Sampe Halal) sering tukar fikiran dengan yang sudah punya pasangan. Sering diskusi kami dimulai dengan adanya suatu kasus, biasanya meme instagram. Waktu itu isi tulisannya “Stop Pacaran. Dukung Jones dan Jomblo Fisabilillah / Jomblo Lillahi ta’ala #PacaranMembunuhmu”

Spontan teman-teman saya (yang punya pacar) ini menanggapi.
“Saya pacaran biar gag banyak yang dekatin saya, biasanya kalau saya sendiri banyak yang dekatin”.
trus disambung sama teman satu lagi,
 “Coba deh, ada yang care dan selalu perhatian ke kamu. Pasti hatimu terenyuh dan selalu pengen diperhatiin”
“Kamu jomblo karena gak ada yang perhatian sama kamu kan?”

Nyess.

Ada benarnya juga sih. Siapa juga yang perhatian sama saya? ha ha ha (miris lagi)
Lalu saya mengelak, “Gak kok, ada yang perhatian tapi saya gak menanggapi. Kan saya jagonya dalam menjaga jarak dan perasaan” Alaaah alibi aja. Hahaha

Kemudian kita beralih soal kantong. Baru kemaren sore rasanya, saya bisa makan enak, bisa beli buku banyak, bisa kesana-kesini tanpa banyak pertimbangan. Sedih melihat teman yang susah banget buat bayar uang semester. Kasian melihat teman yang bayar banyak buat kompre dan wisuda. Sedangkan saya? Uang semester dibayarin beasiswa. Uang saku dikasih lebih karena sedang penelitian. Ada pemasukan dari hibah dana proposal juga. Pokoknya sejahtera deh.

Tiba saatnya membayar uang kos. Rutinitas beli buku tiap bulan. Paket internet mulai habis. Uang saku menipis karena sering makan di luar. Dana tak terduga dari ban motor yang bocor, biaya bensin, dan hang out yang tercipta mendadak. Alhasil, dompet saya kering, meranggas, tak ada kehidupan. Lalu saya mulai memutar otak. Bagaimana caranya supaya tidak ada kiriman dari rumah lagi. Bagaimana supaya saya tidak merepotkan orang di rumah lagi. Bagaimana supaya saya, bisa punya penghasilan sendiri? Miris kan, memang hidup penuh paradoks.


Lalu saya sempat bertanya pada Allah, kenapa seringkali yang saya harapkan jauh berbeda dari kenyataan yang saya jalankan? Sampai sekarang saya hanya bisa mengambil hikmah dari banyak buku yang saya baca. Bahwasannya Allah terkadang mengabulkan permohonan hambaNya dengan cara yang tak terduga-duga. Agar kita bisa memutar otak dan bisa menilai suatu hal dari banyak sudut pandang. Tentunya menjadi dewasa dengan terkabulnya doa yang disertai usaha untuk berani mengambil tindakan dengan cara bersabar, banyak ikhtiar, dan percaya sama garis yang termaktub di lauh mahfuz.