Minggu, 29 September 2013

Traveller dan Spontanisme


             Akhirnya, di usia ku yang ke-20 tahun ini aku bisa menginjakkan kaki di pulau lain selain Sumatera. Pulau ini sebenarnya sudah masuk dalam daftar pulau yang pernah ku singgahi, Pulau Jawa. Suatu saat aku harap bisa menjejaki pulau-pulau lain sampai negara-negara lain, sebelum itu terjadi tentu aku harus well prepair seperti melejitkan angka TOEFL ku yang masih jeblok. Hanya dua pulau ini yang baru sempat ku singgahi sepanjang hidupku, masih di Indonesia memang namun punya kesan sendiri karena proses untuk menempati pulau ini tentu tidak gampang.
Terlahir dari keluarga yang kurang mengerti tentang pentingnya sebuah pendidikan adalah ujian tersendiri bagiku. Ya, aku hanya seorang anak dari orang tua yang tak sempat mengenyam ilmu di Sekolah Menengah Atas. Meski dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ayah biologis setiap hari, aku merasa bahwa ayah selalu ada ketika mengantarkanku ke sekolah dan memberiku nafkah dari hasil keringat beliau sendiri. Ayahku tinggal tidak jauh dari rumah setelah berpisah dengan ibu, ayah tinggal dengan istrinya yang lain. Namun itu tak penting, yang penting aku tahu siapa ayahku.
Kasih sayang yang kudapat mungkin berbeda dengan teman-teman. Dulu aku punya nenek tanpa kakek, punya ibu tanpa ayah dan punya sepasang bibi dan paman. Aku belajar bekerja keras dari beliau semua. Belajar dari nenek yang tegar tanpa kehadiran seorang kakek, belajar mandiri dari Ibu tanpa suami yang menaungi dan belajar kesetiaan dari paman-bibi ku.
Sepertinya sifat itu mendarah daging padaku. Tegar yang kumaksud ialah ketika banyak yang salah paham dengan tindakanku yang spontan aku mencoba untuk tenang dalam kesabaran. Ketika aku terbiasa mandiri tanpa adanya izin dari pihak yang berwenang mengizinkanku pergi kesini. Serta prinsip setia yang ku pegang sehingga aku disangka tidak normal karena terus menyandang predikat single, maksudnya? Hahaha lupakan.
Satu tahap pencapaian dalam hidupku jika dibandingkan dengan pencapaian orang lain tentu tak ada apa-apanya. Aku disini mencoba untuk mengekspresikan kata syukur, namun apalah itu namanya tidaklah penting. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku meluapkan kata-kata yang telah hampir melebur dalam otak ini dalam bentuk tulisan yang dapat menginspirasi orang lain untuk dapat melakukan yang terbaik.
Keberangkatan yang sangat tergesa-gesa membuat keuargaku panik, apalagi aku tentunya. Mengingat hari senin tanggal 26 Agustus 2013 harus melakukan registrasi mahasiswa di kampus tujuanku, Institut Pertanian Bogor. Aku dengan temanku yang masih tercecer di Padang, memutuskan bahwa hari Minggu malam kami harus berangkat berapapun biaya tiketnya. Sebenarnya bukan masalah registrasi itu saja, teman-teman yang sudah duluan kesini telah kelimpungan mencari kost karena tak mungkin barang yang begitu berat dibawa mencari kost kesana-kemari. Ditambah lagi berdasarkan info dari petugas tiket perjalanan, bahwasannya maskapai penerbangan untuk hari Senin dan seterusnya sudah full penumpang.
Jadilah berguguran rencana yang dibuat untuk hari Senin. Rencananya, hari Senin adalah hari ketika aku pamit-pamitan dengan teman seperjuangan di sekre (biasa aktifis), hari yang aku rancang untuk minta izin kepada Pembimbing Akademik secara resmi, hari yang aku persiapkan untuk berharu-biru dengan para sahabat yang baru balik dari kampung halaman masing-masing setelah libur semester,  dan hari ketika aku puaskan mata ini menatap jalan sepanjang kampus untuk ditinggal selama satu semester.
Dengan prepair yang tergesa-gesa, membuat barang bawaanku segudang karena tak berpikir dua kali untuk membawanya. Menjadi tontonan dari teman se-kosan ketika packing yang menjadi mandor untuk mengingatkan barang-barang yang harus ku bawa. Sore menjelang magrib, datanglah keluargaku sekompi. Semua yang berada di rumah ikut serta mengantarku, sampai-sampai pamanku yang lagi sakit ikut dan kebagian duduk bersedekap dengan barang bawaan di jok belakang mobil. Begitulah, meski aku risih dengan kerempongan ini minimal aku merasakan perhatian dari semua yang mengantarku.
Di usia yang ke 20 ini baru terasa olehku betapa enaknya naik pesawat, dan betapa sakitnya telinga ini menjelang pesawat landing. Ndeso banget gag tuh? Begitulah, “seperti naik komidi putar saja ya An” kata ku kepada temanku yang sudah pernah naik pesawat setelah pendengaranku kembali pulih. Ia hanya cengengesan. Huh, Anna kan sering banget begitu.
Perhatian lainnya aku dapat juga dari keluarga jauh yang tergolong dekat dengan kami, biasa kami panggil Ajo Niang. Beliau yang menjemputku di bandara, meskipun pesawatku delay 2 jam lamanya. Tak terpikir olehku betapa jauhnya jarak Cengkareng (red:bandara) ke Bekasi tempat beliau, tiba disana sudah pukul 03.00 am. Terimakasih banyak harusnya aku ucapkan berkali-kali karena tanpa kemurahan hati beliau aku bersama Anna tentu akan terlunta-lunta keberatan membawa barang kesana-kemari.
Setelah istirahat seharian di rumahnya Ajo Niang, sorenya kami meninggalkan Jakarta menuju Bogor tempatku mendulang ilmu selama satu semester ke depan. Berbeda dengan Padang, kalau disini meskipun sudah naik mobil pribadi tetap saja harus mengeluarkan uang untuk bayar tol. Tak ada kehidupan untuk orang yang hanya ingin gratis, sepertinya begitu. Disini aku belajar, bahwa untuk mendapatkan apapun yang ingin dicapai kita harus membayar. Bukan hanya dengan uang, bayarlah sesuatu itu dengan usaha, dengan pengorbanan dan keikhlasan memberi tentunya.
Seminggu sebelum dimulainya proses perkuliahan, kami berenam rela berpenat-penat kaki menjadi traveller. Dengan modal nekad naik kereta api  denga system commuter line yangmana setelah sampai di stasiun tujuan tiketnya dapat diuangkan sebanyak separoh dari pembelian tiket tersebut. Salah seorang teman sebut saja Qisthi, rela menjadi guide itupun dengan bertanya kepada temannya via telpon. Setelah puas berpose di setiap sudut museum kamipun melanjutkan perjalanan menuju blok M, tempat pemberhentian terakhir sebelum istirahat malam di rumah sodaranya salah seorang dari kami, Gusti. Ada satu cerita yang membuatku berhati-hati dengan gadis satu ini, tak perlulah disebutkan karena memang tidak untuk disebut-sebut. Paginya, kami berkunjung ke pasar Tanah Abang. Tempat yang membuat sakuku jebol, sampai barang belanjaan kita semua terkumpul dalam tiga kantong besar.
Setiba di lokasi pendulanganku, aku berpikir lagi. Ternyata dunia disini berbeda jauh dengan dunia tempat asalku. Disini orang tidak begitu merisaukan penampilan orang lain, bahkan banyak akhwat-akhwat disini pergerakan mereka tidak dipermasalahkan. Sebuah penghargaan untuk sebuah perbedaan. Itulah yang kurasa kurang bagi masyarakat di Unand, aku merasa masih banyak yang risih dengan pergerakan kelompok-kelompok tertentu yang aplikasi pemahamannya belum cukup tersebar di Unand. Disini, terlihat bahwa perkumpulan-perkumpulan apapun itu bergerak dengan leluasa disini. Belum lagi pelayanan biro yang berpatokan pada semboyan IPB “Searching and Serves The Best”, perpustakaan yang menerapkan system digital membuat pengunjung bebas mencari buku apa saja, ditambah lagi dengan peralatan labornya yang hanya kutemui di pabrik tempat kami fieldtrip benar-benar efisien peralatan disini.
Tanpa teman-teman tentu aku tidak bisa menjelajahi daerah ini seorang diri, sampai jiwa travellerku bergejolak kembali. Kami pergi ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang Bogor ketika ingin cuci mata atau sekedar reunian. Pergi ke Botani square, Kebun Raya Bogor, stasiun dan taman-taman yang disediakan untuk umum. Aku telah membuat list nama-nama orang yang akan ku kunjungi berhubung aku masih berada satu pulau dengan mereka. Mulai dari temanku yang tinggal satu kota denganku, kami telah lama tak bertemu dan pertemuan ini serasa mimpi karena bertemu di tempat yang jauh dari daerah asal kami tempat biasanya kami bertemu. Lalu dilanjutkan dengan mengunjungi sanak-sodara yang telah lama bahkan belum pernah bertemu sekalipun akan ku lakukan. Aku yakin, dengan menyambung tali silaturrahmi membuat Allah melancarkan urusan dan rezeki kita.
Banyak yang ku temui selama satu bulan lebih disini. Dosen yang berdedikasi untuk kemajuan mahasiswanya, ruang kelas ber-AC meski telah dicap sebagai kota hujan, sampai teman-teman yang tidak memandang kami sebagai makhluk aneh karena memakai bahasa yang daerah jika berinteraksi satu sama lain diantara kami. Jenis makananpun beragam, mulai dari kelas atas sampai kelas bawah telah kami coba untuk merasakan. Mulai dari yang steril sampai dengan kelihatan induk semangnya pencuri makanan, sejenis binatang pengerat yang menjadi momok setiap orang yang mencintai kebersihan telah kami lihat keberadaannya ketika kami sedang menikmati sarapan mengendap-endap di bawah gerobak dagangan yang notabene berdiri di atas safety tank alias selokan. Risih sekaligus miris memang, tempat berjualan yang harusnya bersih dari bau tak sedap malah berada di atas selokan di depan toko masing-masing. Semoga saja musim hujan disini tidak membuat para hewan pengerat itu melancarkan aksinya menembus rumah penduduk.

Aku berharap agar semua pihak yang salah paham dengan tindakanku yang spontan dapat memahami karakterku. Memahami bahwa disini tidak semua jaringan seluler begitu lancar, memahami bahwa aku punya gadget yang kurang canggih bahkan tergolong butut untuk selalu on dan menerima signal selalu penuh setiap hari. Gadget ku kadang-kadang tak ada signal, bahkan sering tak ada pulsa. Oh, perasaanku yang sensitif membuatku terpojok  karena niatku minta maaf disalah artikan sebagai kurangnya etika kepada dosen pembimbing. Aku telah merencanakannya, namun waktu tak bisa dipaksa. Aku minta maaf karena baru sempat mengabarkan keberadaanku saat ini, aku menyesal karena terlalu tergesa-gesa merencanakan keberangkatan, menyesal karena baru sempatnya sekarang memberitahu bahwa aku telah disini. Ku berharap setelah ini semuanya baik-baik saja.

0 komentar:

Posting Komentar