Akhirnya,
di usia ku yang ke-20 tahun ini aku bisa menginjakkan kaki di pulau lain selain
Sumatera. Pulau ini sebenarnya sudah masuk dalam daftar pulau yang pernah ku
singgahi, Pulau Jawa. Suatu saat aku harap bisa menjejaki pulau-pulau lain
sampai negara-negara lain, sebelum itu terjadi tentu aku harus well prepair seperti melejitkan angka
TOEFL ku yang masih jeblok. Hanya dua pulau ini yang baru sempat ku singgahi
sepanjang hidupku, masih di Indonesia memang namun punya kesan sendiri karena
proses untuk menempati pulau ini tentu tidak gampang.
Terlahir dari
keluarga yang kurang mengerti tentang pentingnya sebuah pendidikan adalah ujian
tersendiri bagiku. Ya, aku hanya seorang anak dari orang tua yang tak sempat
mengenyam ilmu di Sekolah Menengah Atas. Meski dibesarkan tanpa kasih sayang
seorang ayah biologis setiap hari, aku merasa bahwa ayah selalu ada ketika
mengantarkanku ke sekolah dan memberiku nafkah dari hasil keringat beliau sendiri.
Ayahku tinggal tidak jauh dari rumah setelah berpisah dengan ibu, ayah tinggal
dengan istrinya yang lain. Namun itu tak penting, yang penting aku tahu siapa
ayahku.
Kasih sayang
yang kudapat mungkin berbeda dengan teman-teman. Dulu aku punya nenek tanpa kakek,
punya ibu tanpa ayah dan punya sepasang bibi dan paman. Aku belajar bekerja
keras dari beliau semua. Belajar dari nenek yang tegar tanpa kehadiran seorang
kakek, belajar mandiri dari Ibu tanpa suami yang menaungi dan belajar kesetiaan
dari paman-bibi ku.
Sepertinya
sifat itu mendarah daging padaku. Tegar yang kumaksud ialah ketika banyak yang
salah paham dengan tindakanku yang spontan aku mencoba untuk tenang dalam
kesabaran. Ketika aku terbiasa mandiri tanpa adanya izin dari pihak yang
berwenang mengizinkanku pergi kesini. Serta prinsip setia yang ku pegang
sehingga aku disangka tidak normal karena terus menyandang predikat single, maksudnya? Hahaha lupakan.
Satu tahap
pencapaian dalam hidupku jika dibandingkan dengan pencapaian orang lain tentu
tak ada apa-apanya. Aku disini mencoba untuk mengekspresikan kata syukur, namun
apalah itu namanya tidaklah penting. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana
aku meluapkan kata-kata yang telah hampir melebur dalam otak ini dalam bentuk
tulisan yang dapat menginspirasi orang lain untuk dapat melakukan yang terbaik.
Keberangkatan
yang sangat tergesa-gesa membuat keuargaku panik, apalagi aku tentunya.
Mengingat hari senin tanggal 26 Agustus 2013 harus melakukan registrasi
mahasiswa di kampus tujuanku, Institut Pertanian Bogor. Aku dengan temanku yang
masih tercecer di Padang, memutuskan bahwa hari Minggu malam kami harus
berangkat berapapun biaya tiketnya. Sebenarnya bukan masalah registrasi itu
saja, teman-teman yang sudah duluan kesini telah kelimpungan mencari kost
karena tak mungkin barang yang begitu berat dibawa mencari kost kesana-kemari.
Ditambah lagi berdasarkan info dari petugas tiket perjalanan, bahwasannya
maskapai penerbangan untuk hari Senin dan seterusnya sudah full penumpang.
Jadilah
berguguran rencana yang dibuat untuk hari Senin. Rencananya, hari Senin adalah
hari ketika aku pamit-pamitan dengan teman seperjuangan di sekre (biasa
aktifis), hari yang aku rancang untuk minta izin kepada Pembimbing Akademik
secara resmi, hari yang aku persiapkan untuk berharu-biru dengan para sahabat
yang baru balik dari kampung halaman masing-masing setelah libur semester, dan hari ketika aku puaskan mata ini menatap
jalan sepanjang kampus untuk ditinggal selama satu semester.
Dengan
prepair yang tergesa-gesa, membuat barang bawaanku segudang karena tak berpikir
dua kali untuk membawanya. Menjadi tontonan dari teman se-kosan ketika packing yang menjadi mandor untuk
mengingatkan barang-barang yang harus ku bawa. Sore menjelang magrib, datanglah
keluargaku sekompi. Semua yang berada di rumah ikut serta mengantarku,
sampai-sampai pamanku yang lagi sakit ikut dan kebagian duduk bersedekap dengan
barang bawaan di jok belakang mobil. Begitulah, meski aku risih dengan
kerempongan ini minimal aku merasakan perhatian dari semua yang mengantarku.
Di usia yang
ke 20 ini baru terasa olehku betapa enaknya naik pesawat, dan betapa sakitnya
telinga ini menjelang pesawat landing.
Ndeso banget gag tuh? Begitulah, “seperti naik komidi putar saja ya An” kata ku
kepada temanku yang sudah pernah naik pesawat setelah pendengaranku kembali
pulih. Ia hanya cengengesan. Huh, Anna kan sering banget begitu.
Perhatian
lainnya aku dapat juga dari keluarga jauh yang tergolong dekat dengan kami,
biasa kami panggil Ajo Niang. Beliau
yang menjemputku di bandara, meskipun pesawatku delay 2 jam lamanya. Tak
terpikir olehku betapa jauhnya jarak Cengkareng (red:bandara) ke Bekasi tempat
beliau, tiba disana sudah pukul 03.00 am. Terimakasih banyak harusnya aku
ucapkan berkali-kali karena tanpa kemurahan hati beliau aku bersama Anna tentu
akan terlunta-lunta keberatan membawa barang kesana-kemari.
Setelah
istirahat seharian di rumahnya Ajo Niang,
sorenya kami meninggalkan Jakarta menuju Bogor tempatku mendulang ilmu
selama satu semester ke depan. Berbeda dengan Padang, kalau disini meskipun
sudah naik mobil pribadi tetap saja harus mengeluarkan uang untuk bayar tol.
Tak ada kehidupan untuk orang yang hanya ingin gratis, sepertinya begitu.
Disini aku belajar, bahwa untuk mendapatkan apapun yang ingin dicapai kita
harus membayar. Bukan hanya dengan uang, bayarlah sesuatu itu dengan usaha,
dengan pengorbanan dan keikhlasan memberi tentunya.
Seminggu sebelum
dimulainya proses perkuliahan, kami berenam rela berpenat-penat kaki menjadi
traveller. Dengan modal nekad naik kereta api
denga system commuter line yangmana setelah sampai di stasiun tujuan
tiketnya dapat diuangkan sebanyak separoh dari pembelian tiket tersebut. Salah
seorang teman sebut saja Qisthi, rela menjadi guide itupun dengan bertanya kepada temannya via telpon. Setelah
puas berpose di setiap sudut museum kamipun melanjutkan perjalanan menuju blok
M, tempat pemberhentian terakhir sebelum istirahat malam di rumah sodaranya
salah seorang dari kami, Gusti. Ada satu cerita yang membuatku berhati-hati
dengan gadis satu ini, tak perlulah disebutkan karena memang tidak untuk
disebut-sebut. Paginya, kami berkunjung ke pasar Tanah Abang. Tempat yang membuat
sakuku jebol, sampai barang belanjaan kita semua terkumpul dalam tiga kantong
besar.
Setiba di
lokasi pendulanganku, aku berpikir lagi. Ternyata dunia disini berbeda jauh
dengan dunia tempat asalku. Disini orang tidak begitu merisaukan penampilan orang
lain, bahkan banyak akhwat-akhwat disini pergerakan mereka tidak
dipermasalahkan. Sebuah penghargaan untuk sebuah perbedaan. Itulah yang kurasa
kurang bagi masyarakat di Unand, aku merasa masih banyak yang risih dengan
pergerakan kelompok-kelompok tertentu yang aplikasi pemahamannya belum cukup
tersebar di Unand. Disini, terlihat bahwa perkumpulan-perkumpulan apapun itu
bergerak dengan leluasa disini. Belum lagi pelayanan biro yang berpatokan pada
semboyan IPB “Searching and Serves The Best”, perpustakaan yang menerapkan
system digital membuat pengunjung bebas mencari buku apa saja, ditambah lagi
dengan peralatan labornya yang hanya kutemui di pabrik tempat kami fieldtrip
benar-benar efisien peralatan disini.
Tanpa
teman-teman tentu aku tidak bisa menjelajahi daerah ini seorang diri, sampai
jiwa travellerku bergejolak kembali. Kami pergi ke tempat-tempat yang biasa
dikunjungi orang Bogor ketika ingin cuci mata atau sekedar reunian. Pergi ke
Botani square, Kebun Raya Bogor, stasiun dan taman-taman yang disediakan untuk
umum. Aku telah membuat list nama-nama orang yang akan ku kunjungi berhubung
aku masih berada satu pulau dengan mereka. Mulai dari temanku yang tinggal satu
kota denganku, kami telah lama tak bertemu dan pertemuan ini serasa mimpi
karena bertemu di tempat yang jauh dari daerah asal kami tempat biasanya kami
bertemu. Lalu dilanjutkan dengan mengunjungi sanak-sodara yang telah lama
bahkan belum pernah bertemu sekalipun akan ku lakukan. Aku yakin, dengan
menyambung tali silaturrahmi membuat Allah melancarkan urusan dan rezeki kita.
Banyak yang
ku temui selama satu bulan lebih disini. Dosen yang berdedikasi untuk kemajuan
mahasiswanya, ruang kelas ber-AC meski telah dicap sebagai kota hujan, sampai
teman-teman yang tidak memandang kami sebagai makhluk aneh karena memakai
bahasa yang daerah jika berinteraksi satu sama lain diantara kami. Jenis
makananpun beragam, mulai dari kelas atas sampai kelas bawah telah kami coba
untuk merasakan. Mulai dari yang steril sampai dengan kelihatan induk semangnya
pencuri makanan, sejenis binatang pengerat yang menjadi momok setiap orang yang
mencintai kebersihan telah kami lihat keberadaannya ketika kami sedang
menikmati sarapan mengendap-endap di bawah gerobak dagangan yang notabene
berdiri di atas safety tank alias
selokan. Risih sekaligus miris memang, tempat berjualan yang harusnya bersih
dari bau tak sedap malah berada di atas selokan di depan toko masing-masing.
Semoga saja musim hujan disini tidak membuat para hewan pengerat itu
melancarkan aksinya menembus rumah penduduk.
Aku berharap
agar semua pihak yang salah paham dengan tindakanku yang spontan dapat memahami
karakterku. Memahami bahwa disini tidak semua jaringan seluler begitu lancar,
memahami bahwa aku punya gadget yang
kurang canggih bahkan tergolong butut untuk selalu on dan menerima signal selalu penuh setiap hari. Gadget ku
kadang-kadang tak ada signal, bahkan sering tak ada pulsa. Oh, perasaanku yang
sensitif membuatku terpojok karena
niatku minta maaf disalah artikan sebagai kurangnya etika kepada dosen
pembimbing. Aku telah merencanakannya, namun waktu tak bisa dipaksa. Aku minta
maaf karena baru sempat mengabarkan keberadaanku saat ini, aku menyesal karena
terlalu tergesa-gesa merencanakan keberangkatan, menyesal karena baru sempatnya
sekarang memberitahu bahwa aku telah disini. Ku berharap setelah ini semuanya
baik-baik saja.
0 komentar:
Posting Komentar