Senin, 02 Desember 2013

Ketimpangan Sosial, Perilaku dan Pola Pikir



Oleh : Amelia Putri*

Negeri itu hijau subur, kekayaan alamnya melimpah ruah tak kalah dengan daerah-daerah lainnya di bumi pertiwi ini. Orang-orang disana suka merantau, tanda cinta mereka terhadap negerinya. Kualitas pendidikan disana juga sebanding dengan kualitas pendidikan di kota lain, buktinya banyak pelajar asal daerah itu yang bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi ternama di Negara ini. Adat istiadat lama masih bertahan dan dijunjung tinggi disana. Sekarang apa yang salah?
Tak ada yang bisa dipersalahkan dengan kenyataan yang dihadapi sekarang. Banyaknya daerah terisolir dan tingkat religius yang semakin hari semakin terkikis karena perubahan zaman. Kepekaan  masyarakat yang mulai luntur serta kurangnya respek kepada kaum pembawa perubahan merupakan salah satu ciri yang begitu terlihat di permukaan. Berubahnya pola pikir masyarakat seraya kemajuan teknologi pun tak bisa membuat perubahan yang signifikan bagi negeri itu. Seakan-akan rakyat disana berfikir “aku hidup disini dan akan mati disini, peduli apa sama orang lain?”
Problem inilah yang menjadi tonggak ketimpangan sosial antara masyarakat yang hidup di dekat kota dengan orang-orang yang hidup di pedalaman. Analogikan saja mereka sedang menonton kasus “Ajang Miss Universe”, orang yang tingkat penerimaannya bagus terhadap informasi yang disampaikan setidaknya akan berfikir bahwa acara tersebut tidak pantas ditonton oleh orang yang imannya sedang naik turun karena akan merusak iman mereka. Bagi mereka yang tingkat penerimaan informasinya kurang, banyak kemungkinan yang mereka fikirkan salah satunya bisa saja mereka mengasumsikan bahwa tindakan itulah yang harus dilakukan perempuan asal daerah itu agar negerinya maju.
Coba kita tengok lagi ke atas, problem yang sedang dihadapi daerah ini yaitu banyaknya daerah terisolir dan tingkat religius yang semakin hari semakin menipis. Pernyataan ini bukan tanpa sebab, cobalah lihat surau-surau dan masjid disana. Lengang dan kosong tanpa makhluk, orang-orang disana lebih suka beribadah di rumah ketimbang pergi ke masjid. Banyak surau yang dahulu digunakan sebagai tempat menuntut ilmu untuk bekal di akhirat sekarang sepi tak bertuan. Kemana perginya orang-orang, apakah mereka semua pergi merantau?
Butanya mata dan tulinya telinga masyarakat membuat kaum intelek asal daerah itu jengah untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat disana. Semakin tinggi tingkat pendidikan mereka semakin banyak saja cemooh dan banyolan yang dilontarkan masyarakat terhadap mereka. Padahal mereka sangat ingin membantu negeri itu untuk maju. Budaya cemooh yang tak pernah hilang meskipun zaman telah berganti merupakan salah satu faktor tertinggalnya daerah itu dari daerah lain.
Kemudian muncullah berita mencengangkan, salah satu pemudi asal daerah itu mewakili Indonesia dalam ajang pemilihan Miss Universe. Beredar foto si empunya yang dengan bangga menjajakan auratnya sebagai aspek penilaian dalam kontes tersebut, menabrak moral adat istiadat yang dijunjung tinggi leluhur sebagai negeri yang menanamkan nilai-nilai keislaman. Coba kita lihat nanti, perubahan apa yang bisa dilakukan puteri tersebut untuk negerinya. Dengan memberitahu seluruh dunia akan nama daerah asalnya, dampak apa yang Ia berikan terhadap kemajuan daerahnya?
Kembali lagi dengan tingkat penerimaan informasi yang baik, sepertinya pola pikir masyarakat terhadap calon pemimpin banyak yang berlandaskan politik semata. Seakan-akan mereka lupa bahwa sebuah daerah perlu pemimpin, tak akan bisa maju jika tak ada yang mengomandoi. Tugas pemimpin bukan hanya habis di dunia saja namun dipertanggung jawabkan kelak di hadapan tuhan. Kemana orang-orang yang percaya kepada pemerintah, sulit memang menemukannya sekarang. Apalagi isu-isu negatif terkait pemerintahan telah merasuki pikiran rakyat, memang begitulah cerminan pemerintahan sekarang. Akankah kita berdiam diri membiarkan citra pemerintahan Negara ini dinodai oleh tangan-tangan kotor pejabat yang kehilangan rasa malu?
Miris sekali membayangkan, masyarakat pedalaman, hasil bumi melimpah ruah, miss universe, dan koruptor. Lucu saja mendengarnya, memang sebuah Negara yang kompleks. Sangat disayangkan melihat ketimpangan sosial yang begitu signifikan. Masihkah berlaku semboyan “gemah ripah loh jinawi” bagi bumi pertiwi. Akankah kita stagnan dan membiarkan kejadian ini terulang lagi, sebagai kaum pembawa perubahan sudah saatnya kita bergerak.
Mencoba menebalkan telinga terhadap cemooh rakyat setempat tak ada salahnya dicoba. Toh, kalau hasilnya keliatan mereka juga akan menerima. Ketimpangan sosial, perilaku dan pola pikir memang sudah mengakar kuat. Jika punya ide untuk membuat ketimpangan tersebut menjadi seimbang, jangan sampai terbesit ragu untuk melakukannya. Mulai belajar memeperkaya wawasan, belajar mengintrospeksi diri, belajar menerima kritikan dan yang terpenting dekatkan diri pada tuhan agar rencana kita dimudahkan.
Sebuah rencana yang berhasil adalah rencana yang melibatkan semua pihak ; masyarakat, kaum pemuda, orang rantau, pemerintah, dan kaum terdidik. Jika semuanya bersatu memiliki kepercayaan satu sama lain dan kemauan membuat negeri itu maju bukan hal yang mustahil. Apa yang tidak bisa dikabulkan oleh Tuhan, Dia yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui akan memudahkan jalan untuk  hambaNya dalam mencapai hak dan kewajiban sebagai umat yang maju peradabannya asalkan rumahNya kembali diramaikan dan laranganNya dijauhkan.
*) Crew Genta Andalas
 Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian Unand
Teknologi Hasil Pertanian - Angkatan 2011

0 komentar:

Posting Komentar