Pecahkan Masalah Cukup 1 Jam Bersama Nabi

Banyaknya problema manusia pada zaman sekarang sesungguhnya sudah terjadi juga sejak Rasulullah masih hidup, hanya saja bentuknya yang berbeda. Sejarah manusia dengan peradabannya nyaris merupakan pengulangan. Peran yang dilakukan oleh manusia sekarang merupakan peran yang sama seperti umat terdahulu.

Ibu, Samudera Kasih Sayang Berpantai Rindu

Bagaimana jika ibumu bukan ibu terbaik di dunia? Satu pertanyaan dalam salah satu bukunya Fahd Pahdepie. Akan aku coba untuk menjawab. Ibuku mungkin bukan ibu yang terbaik di dunia, ibuku bukanlah seorang sosok yang harus dikagumi, bukan seorang sosok yang patut dibanggakan, dan bukan sosok yang dikenal banyak orang.

Ayah dan Jarak yang Memisahkan Kita

Ayah, apa kau tau bagaimana reaksiku ketika orang lain bertanya. “Ayahmu kerja apa? Umurnya berapa? Kapan ulang tahunnya? Hari ini hari Ayah lho! Udah ngucapin selamat pada Ayah?” Kau tau yang aku jawab apa, “entahlah”. Bahkan berapa persisnya umur Ayahku aku tak tau. Aku tau apa kerjamu, bahkan ribuan pal jarak kita terpisah aku masih ingat betapa banyaknya keringat yang kau curahkan demi menghidupi keluargamu.

Satu Setengah Bulan

Sudah di penghujung Maret. Artinya sudah satu setengah bulan berlalu sejak awal semester delapan. Selama itu juga aku belum merampungkan proposal penelitianku. Banyak teman-teman sudah menunaikan kewajibannya sebagai mahasiswa tingkat akhir, yap penelitian. Kadang aku merasa tertinggal, kadang juga merasa “ah masih ada waktu kok”, kadang sempat terfikir kenapa waktu cepat sekali bergulir? Atau karena aku yang masih sibuk dengan kegiatan ekstrakulikuler kampus.

How to choice

Aku terlalu takut untuk memilih. Aku terlalu rapuh untuk tertolak. Apakah mereka yang aku anggap selalu tidak menganggap keberadaanku? Aku hidup bukan untuk membuat orang lain saja yang nyaman. Dalam hidupku, aku butuh kenyamanan. Meskipun aku harus keluar dari zona nyaman. Minimal aku bisa merasakannya saat aku berhenti dari rutinitas. Aku ingin jadi orang sibuk, ingin merasakan bagaimana berjuang untuk mendapatkan kenyamanan itu.

Minggu, 29 September 2013

Segudang Kenangan di dalam Toples


Judul                    : Teheran dalam Toples, Karena Aku Berjanji Akan Kembali
Penulis                 : Aminatul Faizah
Penerbit               : Diva Press
Terbit                  : September 2012
Tebal                   : 487 halaman
Resentator           : Amelia Putri

                Pernahkah kalian mengalami masa kanak-kanak yang begitu berkesan? Bersahabat dengan orang-orang tanpa memandang status?  Mengalami cinta pertama atau hanya sekedar cinta monyet? Setiap orang tentu punya cerita dan pengalaman hidup masing-masing.  Begitupun yang dialami tokoh utama kita dalam novel ini, Leila Ihmi Yusef. Semua kenangan masa kanak-kanaknya Ia simpan rapi di dalam toples berharganya.
 Berawal dari kepindahan keluarga Bapak Yusef ke Teheran, Iran. Leila sebagai seorang anak yang belum mengecap bangku sekolahan tentu merasa kesepian di awal kepindahannya, selain karena tempat dan suasana yang baru juga karena ras mereka yang berbeda dibanding masyarakat umumnya. Suasana Iran yang sedang dicekam isu politik membuat Hamidah, Ibu dari Leila merasa cemas untuk beraktifitas di luar rumah.
Suatu hari datanglah seorang tetangga yang berkunjung guna silaturrahim dengan tetangga baru. Penampilannya yang kurang terawat dengan membawa seorang anak lelaki yang usianya tidak terpaut jauh dengan Leila membuat Hamidah tergerak hatinya untuk memperkerjakannya. Seorang pembantu baru yang kemudian tinggal bersama keluarga Bapak Yusef, dengan anak lelaki traumatis yang pendiam adalah obat kesepian yang dirasakan Leila.
Ali, begitu nama anak lelaki itu. Ia tak pernah sekalipun mengeluarkan suara, seperti boneka besar bagi Leila. Kemanapun Leila pergi, Ali selalu ikut dan dimana ada Leila disitupun ada Ali. Dari sanalah tumbuh benih-benih cinta masa kecil. Ali yang tampan, selalu setia menemani Leila dan selalu membalas pertanyaan Leila dalam hati kecilnya. Ali kecil bercita-cita menjadi seorang dokter, berbekal buku yang Ia baca di ruang baca keluarga Leila. Ibu Hamidah tak mempedulikan status pembantunya, bahkan Ibu Ali sudah Ia anggap sebagai adik sendiri dan Ali sudah Hamidah anggap seperti anak layaknya Leila dan adiknya, Gazali.
Begitupun dengan Leila, Ia mau berteman dengan siapa saja. Termasuk seorang gadis kecil yang ia temui di sekolah, Khafsah begitu akrabnya Ia dipanggil adalah seorang yang tinggal di daerah kumuh dan sehari-hari berjualan kue keliling. Persahabatan itu mulai terbina, dengan tambahan anggota tiga orang dari klan Khan (kasta orang terpandang di Iran). Ada Fariz, Ma’arif dan Djalaludin adalah tiga orang sepupu yang bertetangga dengan Leila. Awalnya mereka bertiga menjahati Ali, namun karena keberanian Leila kecil mereka pun menjadi akrab dan tidak menjahati Ali lagi. Lika-liku persahabatan yang begitu berkesan bagi Leila di bawah naungan langit Persia membuatnya selalu mengumpulkan mozaik kenangan itu dalam sebuah toples yang selalu dijaganya.
Tiba saatnya Leila harus pulang ke kampung halaman Ibunya di Indonesia. Sebuah negara yang cukup jauh jaraknya dari Teheran, membuat Leila kembali merasa sepi dari teman-teman kecilnya. Di Indonesia, kisah cinta yang tak pernah dibina kembali kandas sebelum dimulai. Leila adalah seorang gadis yang sempurna di mata siapapun. Seperti halnya pandangan Khasan, tetangga Leila yang sempat menaruh hati pada Leila. Memiliki ayah yang penyayang, Ibu yang pengertian dan adik yang menggemaskan. Belum prestasinya di sekolah dan hidup dalam kecukupan materi serta kedermawanan orang tuanya membuat ia begitu disegani di lingkungannya.
Disajikan dalam bahasa yang renyah, membuat pembaca merasa nyaman membacanya meski halamannya tebal dan dibaca terpotong-potong. Dengan alur maju-mundur membuat pembaca penasaran dengan apa yang akan terjadi pada tokoh utama. Penamaan yang simple membuat pembaca mudah mengingat tokoh-tokoh dalam cerita.
Novel ini mengajak kita berkeliling dari Indonesia, Teheran sampai Perancis. Membuat pembaca serasa berada di tempat yang disajikan dalam novel. Tokoh utama yang menginspirasi pembaca adalah satu daya tarik sendiri dari novel ini. Setelah meraih impian menjadi fotografer dan kuliah di Perancis, Leila merasa bahwa selalu ada ruang kosong di hatinya. Dengan ide yang Ia tuangkan di majalah tempatnya bekerja, membawa Leila kembali menapaki tanah Persia. Kembali mengingat bahwa toples yang berisikan segala hal tentang Teheran dibutuhkannya lagi. Mengisi kembali ruang kosong yang sempat berdebu karena terlupakan begitu saja.

Bertemu dengan lima orang sahabat yang Ia rindukan adalah tujuan pentingnya selain menyelesaikan pekerjaan. Dengan jalan cerita yang tiba-tiba mengejutkan membuat pembaca merasa ketinggalan cerita. Begitulah, cerita yang berakhir dengan kesepian tiada ujung bagi tokoh utama sepertinya membuat kesan gantung di ending cerita. Sebuah cerita yang hidup karena memang jalan seseorang untuk menemukan jodoh tentu mempunyai akhir masing-masing, baik bertemu di dunia maupun di surga nantinya.

Traveller dan Spontanisme


             Akhirnya, di usia ku yang ke-20 tahun ini aku bisa menginjakkan kaki di pulau lain selain Sumatera. Pulau ini sebenarnya sudah masuk dalam daftar pulau yang pernah ku singgahi, Pulau Jawa. Suatu saat aku harap bisa menjejaki pulau-pulau lain sampai negara-negara lain, sebelum itu terjadi tentu aku harus well prepair seperti melejitkan angka TOEFL ku yang masih jeblok. Hanya dua pulau ini yang baru sempat ku singgahi sepanjang hidupku, masih di Indonesia memang namun punya kesan sendiri karena proses untuk menempati pulau ini tentu tidak gampang.
Terlahir dari keluarga yang kurang mengerti tentang pentingnya sebuah pendidikan adalah ujian tersendiri bagiku. Ya, aku hanya seorang anak dari orang tua yang tak sempat mengenyam ilmu di Sekolah Menengah Atas. Meski dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ayah biologis setiap hari, aku merasa bahwa ayah selalu ada ketika mengantarkanku ke sekolah dan memberiku nafkah dari hasil keringat beliau sendiri. Ayahku tinggal tidak jauh dari rumah setelah berpisah dengan ibu, ayah tinggal dengan istrinya yang lain. Namun itu tak penting, yang penting aku tahu siapa ayahku.
Kasih sayang yang kudapat mungkin berbeda dengan teman-teman. Dulu aku punya nenek tanpa kakek, punya ibu tanpa ayah dan punya sepasang bibi dan paman. Aku belajar bekerja keras dari beliau semua. Belajar dari nenek yang tegar tanpa kehadiran seorang kakek, belajar mandiri dari Ibu tanpa suami yang menaungi dan belajar kesetiaan dari paman-bibi ku.
Sepertinya sifat itu mendarah daging padaku. Tegar yang kumaksud ialah ketika banyak yang salah paham dengan tindakanku yang spontan aku mencoba untuk tenang dalam kesabaran. Ketika aku terbiasa mandiri tanpa adanya izin dari pihak yang berwenang mengizinkanku pergi kesini. Serta prinsip setia yang ku pegang sehingga aku disangka tidak normal karena terus menyandang predikat single, maksudnya? Hahaha lupakan.
Satu tahap pencapaian dalam hidupku jika dibandingkan dengan pencapaian orang lain tentu tak ada apa-apanya. Aku disini mencoba untuk mengekspresikan kata syukur, namun apalah itu namanya tidaklah penting. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana aku meluapkan kata-kata yang telah hampir melebur dalam otak ini dalam bentuk tulisan yang dapat menginspirasi orang lain untuk dapat melakukan yang terbaik.
Keberangkatan yang sangat tergesa-gesa membuat keuargaku panik, apalagi aku tentunya. Mengingat hari senin tanggal 26 Agustus 2013 harus melakukan registrasi mahasiswa di kampus tujuanku, Institut Pertanian Bogor. Aku dengan temanku yang masih tercecer di Padang, memutuskan bahwa hari Minggu malam kami harus berangkat berapapun biaya tiketnya. Sebenarnya bukan masalah registrasi itu saja, teman-teman yang sudah duluan kesini telah kelimpungan mencari kost karena tak mungkin barang yang begitu berat dibawa mencari kost kesana-kemari. Ditambah lagi berdasarkan info dari petugas tiket perjalanan, bahwasannya maskapai penerbangan untuk hari Senin dan seterusnya sudah full penumpang.
Jadilah berguguran rencana yang dibuat untuk hari Senin. Rencananya, hari Senin adalah hari ketika aku pamit-pamitan dengan teman seperjuangan di sekre (biasa aktifis), hari yang aku rancang untuk minta izin kepada Pembimbing Akademik secara resmi, hari yang aku persiapkan untuk berharu-biru dengan para sahabat yang baru balik dari kampung halaman masing-masing setelah libur semester,  dan hari ketika aku puaskan mata ini menatap jalan sepanjang kampus untuk ditinggal selama satu semester.
Dengan prepair yang tergesa-gesa, membuat barang bawaanku segudang karena tak berpikir dua kali untuk membawanya. Menjadi tontonan dari teman se-kosan ketika packing yang menjadi mandor untuk mengingatkan barang-barang yang harus ku bawa. Sore menjelang magrib, datanglah keluargaku sekompi. Semua yang berada di rumah ikut serta mengantarku, sampai-sampai pamanku yang lagi sakit ikut dan kebagian duduk bersedekap dengan barang bawaan di jok belakang mobil. Begitulah, meski aku risih dengan kerempongan ini minimal aku merasakan perhatian dari semua yang mengantarku.
Di usia yang ke 20 ini baru terasa olehku betapa enaknya naik pesawat, dan betapa sakitnya telinga ini menjelang pesawat landing. Ndeso banget gag tuh? Begitulah, “seperti naik komidi putar saja ya An” kata ku kepada temanku yang sudah pernah naik pesawat setelah pendengaranku kembali pulih. Ia hanya cengengesan. Huh, Anna kan sering banget begitu.
Perhatian lainnya aku dapat juga dari keluarga jauh yang tergolong dekat dengan kami, biasa kami panggil Ajo Niang. Beliau yang menjemputku di bandara, meskipun pesawatku delay 2 jam lamanya. Tak terpikir olehku betapa jauhnya jarak Cengkareng (red:bandara) ke Bekasi tempat beliau, tiba disana sudah pukul 03.00 am. Terimakasih banyak harusnya aku ucapkan berkali-kali karena tanpa kemurahan hati beliau aku bersama Anna tentu akan terlunta-lunta keberatan membawa barang kesana-kemari.
Setelah istirahat seharian di rumahnya Ajo Niang, sorenya kami meninggalkan Jakarta menuju Bogor tempatku mendulang ilmu selama satu semester ke depan. Berbeda dengan Padang, kalau disini meskipun sudah naik mobil pribadi tetap saja harus mengeluarkan uang untuk bayar tol. Tak ada kehidupan untuk orang yang hanya ingin gratis, sepertinya begitu. Disini aku belajar, bahwa untuk mendapatkan apapun yang ingin dicapai kita harus membayar. Bukan hanya dengan uang, bayarlah sesuatu itu dengan usaha, dengan pengorbanan dan keikhlasan memberi tentunya.
Seminggu sebelum dimulainya proses perkuliahan, kami berenam rela berpenat-penat kaki menjadi traveller. Dengan modal nekad naik kereta api  denga system commuter line yangmana setelah sampai di stasiun tujuan tiketnya dapat diuangkan sebanyak separoh dari pembelian tiket tersebut. Salah seorang teman sebut saja Qisthi, rela menjadi guide itupun dengan bertanya kepada temannya via telpon. Setelah puas berpose di setiap sudut museum kamipun melanjutkan perjalanan menuju blok M, tempat pemberhentian terakhir sebelum istirahat malam di rumah sodaranya salah seorang dari kami, Gusti. Ada satu cerita yang membuatku berhati-hati dengan gadis satu ini, tak perlulah disebutkan karena memang tidak untuk disebut-sebut. Paginya, kami berkunjung ke pasar Tanah Abang. Tempat yang membuat sakuku jebol, sampai barang belanjaan kita semua terkumpul dalam tiga kantong besar.
Setiba di lokasi pendulanganku, aku berpikir lagi. Ternyata dunia disini berbeda jauh dengan dunia tempat asalku. Disini orang tidak begitu merisaukan penampilan orang lain, bahkan banyak akhwat-akhwat disini pergerakan mereka tidak dipermasalahkan. Sebuah penghargaan untuk sebuah perbedaan. Itulah yang kurasa kurang bagi masyarakat di Unand, aku merasa masih banyak yang risih dengan pergerakan kelompok-kelompok tertentu yang aplikasi pemahamannya belum cukup tersebar di Unand. Disini, terlihat bahwa perkumpulan-perkumpulan apapun itu bergerak dengan leluasa disini. Belum lagi pelayanan biro yang berpatokan pada semboyan IPB “Searching and Serves The Best”, perpustakaan yang menerapkan system digital membuat pengunjung bebas mencari buku apa saja, ditambah lagi dengan peralatan labornya yang hanya kutemui di pabrik tempat kami fieldtrip benar-benar efisien peralatan disini.
Tanpa teman-teman tentu aku tidak bisa menjelajahi daerah ini seorang diri, sampai jiwa travellerku bergejolak kembali. Kami pergi ke tempat-tempat yang biasa dikunjungi orang Bogor ketika ingin cuci mata atau sekedar reunian. Pergi ke Botani square, Kebun Raya Bogor, stasiun dan taman-taman yang disediakan untuk umum. Aku telah membuat list nama-nama orang yang akan ku kunjungi berhubung aku masih berada satu pulau dengan mereka. Mulai dari temanku yang tinggal satu kota denganku, kami telah lama tak bertemu dan pertemuan ini serasa mimpi karena bertemu di tempat yang jauh dari daerah asal kami tempat biasanya kami bertemu. Lalu dilanjutkan dengan mengunjungi sanak-sodara yang telah lama bahkan belum pernah bertemu sekalipun akan ku lakukan. Aku yakin, dengan menyambung tali silaturrahmi membuat Allah melancarkan urusan dan rezeki kita.
Banyak yang ku temui selama satu bulan lebih disini. Dosen yang berdedikasi untuk kemajuan mahasiswanya, ruang kelas ber-AC meski telah dicap sebagai kota hujan, sampai teman-teman yang tidak memandang kami sebagai makhluk aneh karena memakai bahasa yang daerah jika berinteraksi satu sama lain diantara kami. Jenis makananpun beragam, mulai dari kelas atas sampai kelas bawah telah kami coba untuk merasakan. Mulai dari yang steril sampai dengan kelihatan induk semangnya pencuri makanan, sejenis binatang pengerat yang menjadi momok setiap orang yang mencintai kebersihan telah kami lihat keberadaannya ketika kami sedang menikmati sarapan mengendap-endap di bawah gerobak dagangan yang notabene berdiri di atas safety tank alias selokan. Risih sekaligus miris memang, tempat berjualan yang harusnya bersih dari bau tak sedap malah berada di atas selokan di depan toko masing-masing. Semoga saja musim hujan disini tidak membuat para hewan pengerat itu melancarkan aksinya menembus rumah penduduk.

Aku berharap agar semua pihak yang salah paham dengan tindakanku yang spontan dapat memahami karakterku. Memahami bahwa disini tidak semua jaringan seluler begitu lancar, memahami bahwa aku punya gadget yang kurang canggih bahkan tergolong butut untuk selalu on dan menerima signal selalu penuh setiap hari. Gadget ku kadang-kadang tak ada signal, bahkan sering tak ada pulsa. Oh, perasaanku yang sensitif membuatku terpojok  karena niatku minta maaf disalah artikan sebagai kurangnya etika kepada dosen pembimbing. Aku telah merencanakannya, namun waktu tak bisa dipaksa. Aku minta maaf karena baru sempat mengabarkan keberadaanku saat ini, aku menyesal karena terlalu tergesa-gesa merencanakan keberangkatan, menyesal karena baru sempatnya sekarang memberitahu bahwa aku telah disini. Ku berharap setelah ini semuanya baik-baik saja.