Oleh : Amelia Putri*
Negeri
itu hijau subur, kekayaan alamnya melimpah ruah tak kalah dengan daerah-daerah
lainnya di bumi pertiwi ini. Orang-orang disana suka merantau, tanda cinta
mereka terhadap negerinya. Kualitas pendidikan disana juga sebanding dengan
kualitas pendidikan di kota lain, buktinya banyak pelajar asal daerah itu yang
bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi ternama di Negara ini.
Adat istiadat lama masih bertahan dan dijunjung tinggi disana. Sekarang apa
yang salah?
Tak
ada yang bisa dipersalahkan dengan kenyataan yang dihadapi sekarang. Banyaknya
daerah terisolir dan tingkat religius yang semakin hari semakin terkikis karena
perubahan zaman. Kepekaan masyarakat
yang mulai luntur serta kurangnya respek kepada kaum pembawa perubahan
merupakan salah satu ciri yang begitu terlihat di permukaan. Berubahnya pola
pikir masyarakat seraya kemajuan teknologi pun tak bisa membuat perubahan yang
signifikan bagi negeri itu. Seakan-akan rakyat disana berfikir “aku hidup
disini dan akan mati disini, peduli apa sama orang lain?”
Problem
inilah yang menjadi tonggak ketimpangan sosial antara masyarakat yang hidup di
dekat kota dengan orang-orang yang hidup di pedalaman. Analogikan saja mereka
sedang menonton kasus “Ajang Miss Universe”, orang yang tingkat penerimaannya
bagus terhadap informasi yang disampaikan setidaknya akan berfikir bahwa acara
tersebut tidak pantas ditonton oleh orang yang imannya sedang naik turun karena
akan merusak iman mereka. Bagi mereka yang tingkat penerimaan informasinya
kurang, banyak kemungkinan yang mereka fikirkan salah satunya bisa saja mereka
mengasumsikan bahwa tindakan itulah yang harus dilakukan perempuan asal daerah
itu agar negerinya maju.
Coba
kita tengok lagi ke atas, problem yang sedang dihadapi daerah ini yaitu
banyaknya daerah terisolir dan tingkat religius yang semakin hari semakin
menipis. Pernyataan ini bukan tanpa sebab, cobalah lihat surau-surau dan masjid
disana. Lengang dan kosong tanpa makhluk, orang-orang disana lebih suka
beribadah di rumah ketimbang pergi ke masjid. Banyak surau yang dahulu
digunakan sebagai tempat menuntut ilmu untuk bekal di akhirat sekarang sepi tak
bertuan. Kemana perginya orang-orang, apakah mereka semua pergi merantau?
Butanya
mata dan tulinya telinga masyarakat membuat kaum intelek asal daerah itu jengah
untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat disana. Semakin tinggi tingkat
pendidikan mereka semakin banyak saja cemooh dan banyolan yang dilontarkan
masyarakat terhadap mereka. Padahal mereka sangat ingin membantu negeri itu
untuk maju. Budaya cemooh yang tak pernah hilang meskipun zaman telah berganti
merupakan salah satu faktor tertinggalnya daerah itu dari daerah lain.
Kemudian
muncullah berita mencengangkan, salah satu pemudi asal daerah itu mewakili
Indonesia dalam ajang pemilihan Miss Universe. Beredar foto si empunya yang
dengan bangga menjajakan auratnya sebagai aspek penilaian dalam kontes tersebut,
menabrak moral adat istiadat yang dijunjung tinggi leluhur sebagai negeri yang
menanamkan nilai-nilai keislaman. Coba kita lihat nanti, perubahan apa yang
bisa dilakukan puteri tersebut untuk negerinya. Dengan memberitahu seluruh
dunia akan nama daerah asalnya, dampak apa yang Ia berikan terhadap kemajuan
daerahnya?
Kembali
lagi dengan tingkat penerimaan informasi yang baik, sepertinya pola pikir
masyarakat terhadap calon pemimpin banyak yang berlandaskan politik semata. Seakan-akan
mereka lupa bahwa sebuah daerah perlu pemimpin, tak akan bisa maju jika tak ada
yang mengomandoi. Tugas pemimpin bukan hanya habis di dunia saja namun
dipertanggung jawabkan kelak di hadapan tuhan. Kemana orang-orang yang percaya
kepada pemerintah, sulit memang menemukannya sekarang. Apalagi isu-isu negatif
terkait pemerintahan telah merasuki pikiran rakyat, memang begitulah cerminan
pemerintahan sekarang. Akankah kita berdiam diri membiarkan citra pemerintahan
Negara ini dinodai oleh tangan-tangan kotor pejabat yang kehilangan rasa malu?
Miris
sekali membayangkan, masyarakat pedalaman, hasil bumi melimpah ruah, miss
universe, dan koruptor. Lucu saja mendengarnya, memang sebuah Negara yang
kompleks. Sangat disayangkan melihat ketimpangan sosial yang begitu signifikan.
Masihkah berlaku semboyan “gemah ripah loh jinawi” bagi bumi pertiwi. Akankah
kita stagnan dan membiarkan kejadian ini terulang lagi, sebagai kaum pembawa
perubahan sudah saatnya kita bergerak.
Mencoba
menebalkan telinga terhadap cemooh rakyat setempat tak ada salahnya dicoba.
Toh, kalau hasilnya keliatan mereka juga akan menerima. Ketimpangan sosial,
perilaku dan pola pikir memang sudah mengakar kuat. Jika punya ide untuk
membuat ketimpangan tersebut menjadi seimbang, jangan sampai terbesit ragu
untuk melakukannya. Mulai belajar memeperkaya wawasan, belajar mengintrospeksi
diri, belajar menerima kritikan dan yang terpenting dekatkan diri pada tuhan
agar rencana kita dimudahkan.
Sebuah
rencana yang berhasil adalah rencana yang melibatkan semua pihak ; masyarakat,
kaum pemuda, orang rantau, pemerintah, dan kaum terdidik. Jika semuanya bersatu
memiliki kepercayaan satu sama lain dan kemauan membuat negeri itu maju bukan
hal yang mustahil. Apa yang tidak bisa dikabulkan oleh Tuhan, Dia yang Maha
Mendengar dan Maha Mengetahui akan memudahkan jalan untuk hambaNya dalam mencapai hak dan kewajiban
sebagai umat yang maju peradabannya asalkan rumahNya kembali diramaikan dan
laranganNya dijauhkan.
*) Crew Genta Andalas
Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian
Unand
Teknologi Hasil Pertanian - Angkatan 2011