Banyak
yang bilang, aku calon pimred. Banyak yang bilang aku harus lanjut di
kepengurusan organisasi ini. Organisasi yang bagaimana? Aku rasa menyibukkan
diri dan menggali potensi yang aku maksud itu keterlaluan. Aku berusaha
menyibukkan diri karena tak mau memikirkan hal-hal yang tak bermanfaat di waktu
senggang bagi masa mudaku. Aku ingin menggali potensi diri agar aku tau siapa
aku sebenarnya. Sekarang yang menjadi masalah, aku terlalu sibuk dan larut
dalam penyibukan dan penggalian potensi diri. Akibatnya tak jauh-jauh dari
stress, tak jauh dari kesehatan yang menurun, dan satu yang pasti jauh dari
keluarga.
Menjadi
aktivis memang bagus untuk memanfaatkan waktu luang di sela-sela sibuknya
kuliah. Tetapi aktivis bagaimana yang dibutuhkan oleh kampus dan Negara ini
nantinya? Banyak aktivis yang sekedar numpang nama, yang sekedar menjadi
pelengkap alias tak dianggap, yang menjadi bahan olok-olokan, yang ingin
berkontribusi namun tak dibantu, yang terlalu sibuk jadi aktivis sampai-sampai
kuliah dikesampingkan, menjadi aktivis tanpa kenal lelah sehingga kesehatan
terabaikan. Apakah itu esensi dari sebuah aktivis? Saya rasa kita ketinggalan
terlalu jauh.
Seorang
aktivis dapat dijadikan panutan, bagi segelintir orang aktivis adalah mahasiswa
luar biasa. Dapat melaksanakan kewajiban sebagai mahasiswa dan dapat mengemban
amanah sebagai aktivis. Bagi sebagian orang, menjadi aktivis adalah cara untuk
belajar mempertanggung jawabkan amanah. Bagi sebagian lagi untuk mencari jati diri dan menghindari
waktu senggang yang terbuang sia-sia. Menjadi aktivis berarti siap bersuka rela
mengorbankan waktu dan pikiran agar program kerja yang disusun dapat
terlaksana. Menjadi aktivis bukanlah suatu kewajiban, tetapi adalah sebuah
keharusan.
Dalam
sebuah organisasi, wajar saja jika kita mengalami masa sibuk dengan
program-program yang telah direncanakan. Seorang aktivis yang professional, tak
akan menggunakan otot hanya untuk sekedar mengingatkan anggota. Menjadi sibuk
akan adanya sebuah event itu wajar, yang diperlukan adalah ide dan kreatifitas
kita dalam mengangkat acara tersebut. Dalam sebuah rapat misalnya, silang
pendapat antar anggota itu biasa karena kita memiliki pikiran dan sudut pandang
yang berbeda. Haruskah hal ini membuat kehangatan sebuah keluarga organisasi
menjadi dingin? Menyampaikan pendapat itu wajar, namun cara dalam menanggapi
pendapat itu juga perlu diperhatikan. Tak perlulah ada bagian cari muka, ada
pihak pro dan kontra, ada sesi yang bikin anggota rapat sport jantung dan terlebih lagi adanya gate-gate dalam sebuah
organisasi.
Kita
berorganisasi bukan untuk ketenaran, bukan untuk dipandang sebagai orang hebat,
bukan untuk iseng-iseng atau sekedar numpang nama. Organisasi harusnya dapat
membuat kita mengenali diri sendiri, memahami pribadi orang lain, belajar
menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan membantu kita mengenali sisi
lain dari dunia kampus. Aku seorang yang diimingi menjabat sebagai pimred tak
akan sanggup menerima wewenang itu. Jika ada antek-antek yang bekerja sama
denganku nanti adalah orang yang bermuka dua, menyelesaikan masalah dengan
otot, tidak menghargai pendapat, dan memecah golongan menjadi pro dan kontra,
harusku akui aku tak akan sanggup.
Esensi
sebuah organisasi adalah bagaimana kita menjalankan sebuah amanah dengan passion dan merasa ringan melakukannya.
Organisasi yang kita maksud tentu saja mempunyai program kerja dan tujuan yang
jelas. Jika seseorang melalaikan amanahnya, kita tak perlu ambil pusing.
Abaikan dan lanjutkan. Tentu saja bukan
segampang itu, harus ada prosedur yang diikuti sesuai kesepakatan bersama
nantinya. Kembali lagi pada esensi tadi sebenarnya, jika saja dalam sebuah
organisasi rasa memiliki dan rasa saling percaya itu tumbuh mekar maka tak ada
orang merasa keberatan dalam mengemban amanahnya. Tak ada yang namanya malas
berkontribusi dan tak ada yang namanya takut jika diamanahkan di posisi
manapun.
Sebagai
seorang yang telah berserah diri disebut aktivis di kampus ini, aku ingin
mengubah pandangan orang apatis bahwa kita para aktivis disebut sebagai orang
yang kurang kerjaan. Bagaimana tidak dianggap seperti itu, pergi pagi dan
pulang menjelang malam. Waktu bersama teman tergantikan dengan waktu agenda
organisasi. Waktu untuk mempererat hubungan dengan keluarga harus dibatasi
karena sedang ada rapat, waktu menyelesaikan tugas harus terburu-buru karena
besok ada agenda di organisasi. Waktu untuk memperbaiki kualitas diri sebagai
seorang yang mandiri harus ditunda sampai habis kepengurusan. Apakah semua
harus berhubungan dengan waktu? Tak mungkin menyalahkan waktu dan keadaan.
Keadaannya
sekarang, aku calon pimred dan masih banyak hal yang harus ku pertanyakan
tentang sikap dan tindakan seorang aktivis professional. Haruskah bertanya
tentang apa tugasku disini? Haruskah menerima sindiran karena tidak becus,
haruskah ada dalam setiap organisasi seorang yang bersikap sinis? Haruskah aku
calon pimred di tengah polemik esensi seorang aktivis? Sanggupkah aku
memperbaiki keadaan sementara yang lain masih ada yang menganggapku sebagai antimun bungkuak. Ya Rabb, haruskah
organisasi itu memberatkan pundak kami? Haruskah sebuah organisasi menambah
pikiran? Haruskah sebuah organisasi selalu mengedepankan kepentingan kelompok
dominan? Haruskah seorang aktivis mengenyampingkan privasi, kesehatan dan
tujuan utamanya ke kampus ini? Masih banyak ‘harus’ yang aku pertanyakan, dan
sekarang semoga hati ini berangsur pulih dan semoga ada yang menjawab
pertanyaan harus-ku.