Bagaimana
jika ibumu bukan ibu terbaik di dunia?
Satu
pertanyaan dalam salah satu bukunya Fahd Pahdepie.
Akan
aku coba untuk menjawab.
Ibuku
mungkin bukan ibu yang terbaik di dunia, ibuku bukanlah seorang sosok yang
harus dikagumi, bukan seorang sosok yang patut dibanggakan, dan bukan sosok
yang dikenal banyak orang.
Jujur,
aku sempat frustasi ketika suatu waktu dalam album catatan gelapku sering
berbeda pendapat dengan beliau. Sering adu mulut atau bahkan melawan. Sungguh,
jika ibuku bukan Ibu terbaik di dunia maka aku bukanlah buah hati yang terbaik
pula.
Ibu
dengan segala kerendahan hatiku, aku sangat amat menyesal. Banyak sudah kugores
hatimu, bahkan mungkin sempat kuhancurkan. Sering ku nodai kasihmu, teramat
sangat perih pastinya mendapati putri bungsumu sudah bisa membantah ucapanmu.
Namun
kau tau kawan, Ibuku tetaplah Ibuku. Tak pernah dia memecatku sebagai anak. Tak
pernah dia mengusirku. Apalagi mengasariku. Jauh kawan, sungguh jauh dari
ekspektasiku. Ternyata punya Ibu lebih baik daripada punya kawan.
Rahim
Ibuku adalah rumah pertama bagiku, meski aku bukan yang pertama membangun rumah
di rahimnya. Namun lihatlah, siapa yang terakhir kali membuat rumah di sana?
Bukankah jahitan terakhir di mulut rahim itu adalah jahitan sepeninggal aku
pergi dari rumah di rahimnya?
Ibuku
dibalik sikap seorang Ibu alakadarnya, ia menyimpan dan menjunjung tinggi norma
kesetiaan. Baginya mungkin bukan kesetiaan namun ke-kapokan. Beliau kapok
membangun rumah tangga. Sudah terlanjur nanas hatinya. Lebih memilih sendiri
menikmati masa tua yang kian hari kian menyapa.
Aku
tak tau bagaimana caraku tau bahwa kau sangat rindu kehadiranku. Rindu akan
celoteh-celoteh riangku. Rindu membereskan rumah bersamaku. Aku pede sekali kan
Bu? Memang, aku akan selalu berusaha tau apa yang terjadi padamu. Tak perlu kau
punya handphone untuk menelponku. Tak perlu kau punya gadget untuk berinteraksi
denganku. Kita selalu berinteraksi, dalam telepati seorang anak terhadap Ibu
dan seorang Ibu terhadap anak. Hubungan apalagi yang paling dekat di dunia ini,
selain hubungan seorang Ibu dan anaknya dan Tuhan dengan makhluknya.
Ibu, terimakasih
telah bertaruh nyawa untuk mengantarku ke dunia ini. Terimakasih untuk tidak
memecatku sebagai anak. Terimaksih karna selalu tersenyum menyambut
kedatanganku. Terimakasih telah berusaha memaklumi sifat kanak-kanak ku. Bu, tunggu
aku dengan senyummu di rumah, tunggu aku mengajakmu menikmati luasnya dunia,
dan tunggu aku disunting orang *eh. Bagaimana Bu, apakah kapok punya anak
sepertiku? :) :) :)
0 komentar:
Posting Komentar