Selasa, 08 Maret 2016

How to choice?


Aku terlalu takut untuk memilih. Aku terlalu rapuh untuk tertolak. Apakah mereka yang aku anggap selalu tidak menganggap keberadaanku? Aku hidup bukan untuk membuat orang lain saja yang nyaman. Dalam hidupku, aku butuh kenyamanan. Meskipun aku harus keluar dari zona nyaman. Minimal aku bisa merasakannya saat aku berhenti dari rutinitas. Aku ingin jadi orang sibuk, ingin merasakan bagaimana berjuang untuk mendapatkan kenyamanan itu.

Aku hidup dengan penuh keraguan. Hanya mengikuti alur yang ada, begitulah aku hidup. Tanpa bisa berharap lebih. Aku selalu ingin jadi orang yang bersyukur terhadap anugerah sekecil apapun. Bersyukur diberi kesehatan, diberi kesempatan menuntut ilmu, diberi kesempatan menjelajah alam, kesempatan bergaul dengan kaum intelek, dan pastinya bersyukur diberi keluarga yang masih bisa aku jumpai ketika kembali ke rumah.

Aku bisa dibilang adalah orang yang tidak memiliki rasa percaya diri jika berhadapan dengan orang berpendirian teguh sekalipun mereka childish. Menurutku orang yang bersikap manja atau kekanak-kanakan mereka bisa dengan bebas mengekspresikan dirinya. Sedang aku? Kadang jiwa sensitifku keluar begitu saja. Mendengar nada tinggi seorang berbicara padaku, aku kemudian menyimpulkan orang tersebut tidak asik. Mendengar perintah dari teman sebaya seolah aku adalah adiknya, aku tidak bisa terima. Melihat seorang teman yang harusnya dekat denganku, namun dekat dengan orang lain membuatku menjaga jarak dengan mereka.

Misterius, mungkin itu bisa jadi ciri khas ku. Terkadang periang, kadang kala pendiam. Aku ingin memilih salah satunya sebagai khas ku. Tapi bagaimana mungkin? Aku suka humor, namun aku tidak suka berlebihan. Aku senang melihat orang kalem, tapi ketika aku berusaha kalem tak bisa kuhindari cemoohan pasti ku terima.

Aku ingin suatu saat nanti aku bisa memutuskan untuk memakai khas itu. Entah salah satunya, atau dua-duanya. Aku paling tidak suka jadi orang peragu. Ragu-ragu menurutku tidak akan membuat kita sukses. Itulah fenomenaku. Apapun itu, aku ingin keraguan ini lenyap. Aku ingin cepat keluar dari kampus ini. Aku ingin beraksi, aku ingin mengabdi, bukan untuk kepuasan diri tapi benar-benar bermanfaat untuk negeri.

Mengenai teman. Aku paling sensitif masalah ini. Masalahnya aku tidak punya sahabat kental yang lengket kayak perangko kemana-mana selalu berdua. Sahabat yang tau seluk beluk hatiku. Mereka yang paham betul siapa aku. Aku sesungguhnya banyak menyimpan perasaan. Perasaan sayang, suka, duka, senang, sedih, dan ilfeel. Apa aku perlu mengajak seseorang bicara? Dari hati ke hati. Aku rasa aku terlalu banyak tertawa di depan mereka. Sehingga mereka menganggapku orang yang selalu riang. Mungkin benar. Orang yang terlalu banyak tertawa adalah yang hari-harinya kesepian.

Aku paling tidak bisa berkata-kata manis. Tapi ketahuilah, ketika aku berbalik melihat seorang teman yang terluka aku akan mengatakan “semuanya akan baik-baik saja”, (sungguh aku terlalu banyak nonton film korea. :D). Ketika aku mengatakan aku akan pergi menemui mereka tanpa alibi lain, tandanya aku ingin mengungkapkan bahwa aku sayang mereka. Aku tidak mau kehilangan puzzle hidupku (teman-teman), bagiku teman-teman adalah puzzle hidupku yang harus aku kumpulkan lagi supaya menjadi lukisan yang indah.

Teman-teman adalah anugerah dari Allah untukku agar aku bisa memberikan perhatian, pertolongan, kebersamaan, dan agar aku bermanfaat bagi mereka. Agar aku hidup tidak untuk membunuh waktu saja. Agar aku bisa bermanfaat bagi orang lain di luar keluarga. Bagiku, memiliki teman-teman yang sehati dan sejalan denganku adalah anugerah yang patut aku syukuri. Hanya beberapa orang saja, tidak banyak. Tidak banyak yang sepemikiran denganku.

Semoga saja, ada orang yang selalu mengikutsertakan aku dalam doanya. Sekarang ini mungkin masih jauh dariku, mungkin masih berada di belahan bumi lain, atau mungkin belum mengenalku. Seseorang yang aku harapkan dapat mengerti cara pikirku, paham jatuh bangun semangatku, kenal sejarah kesuksesanku, dan mengerti akan segala hal tentang aku dan keluarga. Seseorang yang dapat menggantikan posisi imam minimal seperti Buya pada Umi, seseorang yang dewasa, seorang yang paham tindak tandukku, dan yang paling aku rindukan suaranya saat membangunku untuk melaksanakan ibadah Subuh berjamaah. 

Jika aku berharap kayanya seperti Nabi Sulaiman, aku takut ia tak tawadu’. Jika aku berharap tampannya seperti Nabi Yusuf, aku sadar bahwa parasku tak secantik Zulaikha. Jika aku berharap ia dari keturunan terpandang, aku takut minder karena keluargaku hanya pelaku bisnis kecil-kecilan. Apalagi mengharap solehnya seperti Rasulullah? wallahualam, aku yang sering berbuat dosa, banyak salah dan khilaf sungguh masih jauh dari kata soleha, apakah mungkin?


0 komentar:

Posting Komentar