Bogor, 2013
Ayah,
apa kau tau bagaimana reaksiku ketika orang lain bertanya. “Ayahmu kerja apa?
Umurnya berapa? Kapan ulang tahunnya? Hari ini hari Ayah lho! Udah ngucapin
selamat pada Ayah?” Kau tau yang aku jawab apa, “entahlah”. Bahkan berapa
persisnya umur Ayahku aku tak tau. Aku tau apa kerjamu, bahkan ribuan pal jarak
kita terpisah aku masih ingat betapa banyaknya keringat yang kau curahkan demi
menghidupi keluargamu.
Sekarang
saat kuliah, ketika mengisi borang beasiswa aku juga bingung membubuhkan berapa
penghasilanmu sebulan. Setauku, engkau akan memberiku uang ketika rejekimu
berlebih, dan aku akan selalu melaporkan hasil belajarku kepadamu sekaligus
minta paraf orang tua dengan cara mendatangi rumah keluargamu yang baru. Aku
bersyukur karena masih bisa mendatangimu, masih bisa melihat susahnya
perjuanganmu sebagai seorang kepala keluarga dan masih bisa menjawab pertanyaan
orang-orang tentang siapa ayahku. Aku masih beruntung dibanding orang yang
sudah kehilangan ayah mereka, yang tak tau dimana keberadaan ayah mereka dan
tak tau bagaimana rupa ayah mereka. Aku masih beruntung.
Betapa
pun aku berusaha agar engkau dan Ibu bersatu lagi, tak akan bisa kalah dengan
pendirian Ibu yang kokoh. Kadang aku berfikir, tidak akan menikah dan tidak mau
punya teman lelaki. Jika berpatokan pada pendirian Ibu, mungkin aku tak akan
membuka hati untuk pria manapun. Tapi aku yakin, Ibu mengharapkan anak-anaknya
punya jodoh yang baik.
Sekarang
setelah Buya yang menjadi ayah kami selama ini berpulang ke haribaan-Nya, aku
lihat engkau mencoba menggantikan beliau dengan cara menjadi tempat mengadu
bagi kami. Tak hanya itu, kau juga bersedia mengantarku menuntut ilmu, dan
mencoba menjadi kakek yang bijak bagi dua cucumu. Betapapun dekatnya kami
dengan Buya, yang akan menjadi wali nikah tetaplah dirimu karena kami tidak
punya saudara lelaki. Teringat gurauan Buya kala itu “Sesering apapun aku
menjadi wali penerima raport anak-anak, yang akan menjadi wali nikah tetaplah
ayah kalian”. Buya memang punya cara dan selera humor yang khas untuk
mengungkapkan perasaannya.
Kau
tau ayah, dunia ternyata luas. Bahkan setelah aku mengembara ke pulau orang,
tetap bisa ku temui sanak family yang berasal dari garis keturunanmu. Mereka
baik padaku, mereka menilaiku lebih seperti anaknya sendiri dibanding sebagai
anakmu. Aku akan yakinkan mereka, bahwa kau tidak lagi seperti dahulu. Karma
mungkin lebih tepat menggambarkan posisimu. Dahulu kau sewenang-wenang, dan
sekarang orang-orang telah kehilangan kepercayaan padamu.
Aku
sering ke rumahmu, istrimu baik dan anak-anakmu juga baik. Ku harap, dalam
waktu dekat aku bisa menemui keluargamu yang tercecer di daerah lain. Terlalu
naif jika silaturrahmi ini terputus, sedangkan kita tau dimana mereka berada.
Aku ingin mengunjungi mereka, melihat kondisi kakak-kakak ku yang tidak ku
kenali raut wajahnya. Melihat keluarga kecil yang pernah kau hidupi dahulu,
sebelum kau berumah tangga dengan Ibu. Bukan maksudku membuka lembaran usang
dalam hidupmu, namun hanya untuk menjalin kembali silaturrahim yang sempat
terputus.
Ayah, sudah hampir enam bulan kita tak
berjumpa. Aku ingin lihat, apakah kulitmu masih hitam legam terbakar sinar
matahari? Apakah ubanmu sudah mulai tumbuh atau asam uratmu kambuh lagi? Aku
harap aku bisa menjadi pelipur laramu, kan ku beri kau baju koko yang bagus
agar kau kelihatan tampan. Sudah kutawari itu, namun kau menolak. “ Yang
terpenting itu kebutuhanmu terpenuhi disana, jangan pikirkan yang aneh-aneh
untuk Ayah”. Ah, semoga saja kau sudah benar-benar berubah, dan kau bisa mendapati kepercayaan keluargamu
lagi. Aamiin
0 komentar:
Posting Komentar