Jumat, 18 September 2015

Ayah dan Jarak yang Memisahkan Kita

Bogor, 2013
Ayah, apa kau tau bagaimana reaksiku ketika orang lain bertanya. “Ayahmu kerja apa? Umurnya berapa? Kapan ulang tahunnya? Hari ini hari Ayah lho! Udah ngucapin selamat pada Ayah?” Kau tau yang aku jawab apa, “entahlah”. Bahkan berapa persisnya umur Ayahku aku tak tau. Aku tau apa kerjamu, bahkan ribuan pal jarak kita terpisah aku masih ingat betapa banyaknya keringat yang kau curahkan demi menghidupi keluargamu.
Sekarang saat kuliah, ketika mengisi borang beasiswa aku juga bingung membubuhkan berapa penghasilanmu sebulan. Setauku, engkau akan memberiku uang ketika rejekimu berlebih, dan aku akan selalu melaporkan hasil belajarku kepadamu sekaligus minta paraf orang tua dengan cara mendatangi rumah keluargamu yang baru. Aku bersyukur karena masih bisa mendatangimu, masih bisa melihat susahnya perjuanganmu sebagai seorang kepala keluarga dan masih bisa menjawab pertanyaan orang-orang tentang siapa ayahku. Aku masih beruntung dibanding orang yang sudah kehilangan ayah mereka, yang tak tau dimana keberadaan ayah mereka dan tak tau bagaimana rupa ayah mereka. Aku masih beruntung.
Betapa pun aku berusaha agar engkau dan Ibu bersatu lagi, tak akan bisa kalah dengan pendirian Ibu yang kokoh. Kadang aku berfikir, tidak akan menikah dan tidak mau punya teman lelaki. Jika berpatokan pada pendirian Ibu, mungkin aku tak akan membuka hati untuk pria manapun. Tapi aku yakin, Ibu mengharapkan anak-anaknya punya jodoh yang baik.
Sekarang setelah Buya yang menjadi ayah kami selama ini berpulang ke haribaan-Nya, aku lihat engkau mencoba menggantikan beliau dengan cara menjadi tempat mengadu bagi kami. Tak hanya itu, kau juga bersedia mengantarku menuntut ilmu, dan mencoba menjadi kakek yang bijak bagi dua cucumu. Betapapun dekatnya kami dengan Buya, yang akan menjadi wali nikah tetaplah dirimu karena kami tidak punya saudara lelaki. Teringat gurauan Buya kala itu “Sesering apapun aku menjadi wali penerima raport anak-anak, yang akan menjadi wali nikah tetaplah ayah kalian”. Buya memang punya cara dan selera humor yang khas untuk mengungkapkan perasaannya.
Kau tau ayah, dunia ternyata luas. Bahkan setelah aku mengembara ke pulau orang, tetap bisa ku temui sanak family yang berasal dari garis keturunanmu. Mereka baik padaku, mereka menilaiku lebih seperti anaknya sendiri dibanding sebagai anakmu. Aku akan yakinkan mereka, bahwa kau tidak lagi seperti dahulu. Karma mungkin lebih tepat menggambarkan posisimu. Dahulu kau sewenang-wenang, dan sekarang orang-orang telah kehilangan kepercayaan padamu.
Aku sering ke rumahmu, istrimu baik dan anak-anakmu juga baik. Ku harap, dalam waktu dekat aku bisa menemui keluargamu yang tercecer di daerah lain. Terlalu naif jika silaturrahmi ini terputus, sedangkan kita tau dimana mereka berada. Aku ingin mengunjungi mereka, melihat kondisi kakak-kakak ku yang tidak ku kenali raut wajahnya. Melihat keluarga kecil yang pernah kau hidupi dahulu, sebelum kau berumah tangga dengan Ibu. Bukan maksudku membuka lembaran usang dalam hidupmu, namun hanya untuk menjalin kembali silaturrahim yang sempat terputus.

Ayah, sudah hampir enam bulan kita tak berjumpa. Aku ingin lihat, apakah kulitmu masih hitam legam terbakar sinar matahari? Apakah ubanmu sudah mulai tumbuh atau asam uratmu kambuh lagi? Aku harap aku bisa menjadi pelipur laramu, kan ku beri kau baju koko yang bagus agar kau kelihatan tampan. Sudah kutawari itu, namun kau menolak. “ Yang terpenting itu kebutuhanmu terpenuhi disana, jangan pikirkan yang aneh-aneh untuk Ayah”. Ah, semoga saja kau sudah benar-benar berubah,  dan kau bisa mendapati kepercayaan keluargamu lagi. Aamiin 

0 komentar:

Posting Komentar