Kamis, 25 April 2013

Serambi Mekkah-nya Pariaman



Serambi Mekkah-nya Pariaman
Oleh : Amelia Pu3
Tersebutlah di masa itu seorang ulama yang berguru ke daerah Aceh, bernama Syekh Burhanuddin. Beliau mendapatkan nama tersebut setelah berguru kepada seorang ulama yakni Syekh Abdul Rauf yang telah kembali berguru dari tanah haram, Mekkah.  Sebelum pergi menuntut ilmu ke Aceh, Syekh Burhanuddin yang mempunyai nama sebenarnya adalah Kinun dan sempat bergelar Pakiah Samparno tersebut telah belajar dengan seorang ulama bernama Syekh Abdul Arif yang bertempat tinggal di Air Sirah Pariaman.
Keadaan Minangkabau sebelum kedatangan agama Islam yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin sungguh mengenaskan. Bagaimana tidak, Minangkabau sebelum masuk agama Islam adalah pusat pertahanan agama Budha dan agama Hindu di pulau Sumatera. Pada tahun 710 H berangkatlah syekh Burhanuddin ke Pagaruyung yang menjadi kekuatan agama Hindu dan Budha. Kedatangan beliau diterima dengan ramah oleh Raja Pagaruyung, beliau bermaksud mengajak Raja beserta seluruh warga istana untuk masuk Islam. Dengan penjelasan yang lugas dan lemah lembut maka memeluk Islam lah semua warga Pagaruyung. Namun Islam tidak bertahan lama disana, banyak yang kembali lagi ke jalan jahiliyah.
Syekh Burhanuddin berguru ke daerah Singkil, Aceh pada tahun 1038 H. Ia datang dengan empat kawannya yang bertemu dengannya di jalan. Setelah menjelaskan riwayat dan tujuan kedatangan masing-masing maka tahulah Syekh Abdul Rauf bahwa Pakih Pono (red.Syekh Burhanuddin) ini adalah seorang yang akan menggantikannya kelak. Beliau ingat amanat gurunya saat di Mekkah dulu yakni Ahmad Al Qasyasyih berkata “setelah engkau tiba di Aceh nanti akan datang kepadamu lima orang dari Minangkabau, ada salah seorang yang akan diberi kitab yaitu akan menjadi khalifah. Ciri-cirinya orang tersebut berjalan dengan kaki pincang.” Amanahnya tersebut telah datang kepadanya yaitu Pakih Pono yang berasal dari negeri Sintuk Lubuk Alung, Pariaman. Maka nama Pakih Pono pun diubah menjadi Syekh Burhanuddin.
Selama menuntut ilmu di Aceh, Syekh Burhanuddin belajar berbagai hal. Beliau adalah orang yang gigih dan patuh kepada gurunya. Banyak ujian yang dihadapinya, namun beliau tetap tidak berputus asa. Untuk menghargai kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menuntut ilmu,  Syekh Abdul Rauf gurunya mengajarkan kitab-kitab yang belum dipelajari teman-teman seperguruannya. Semua kitab telah dipelajari oleh beliau, makanya dalam belajar bersama teman-temannya beliau dapat dengan mudah melewati ujian yang dianggap sulit. Syekh Burhanuddin pun menjadi contoh dan teladan karena kepintaran dan kepatuhannya kepada guru. Ujian yang paling berat dirasakan oleh Syekh Burhanuddin adalah ketika diperintahkan oleh gurunya menjaga rumah beliau berdua dengan anak gadisnya. Anak gadisnya tersebut sangat cantik dan baik pekertinya, terbitlah nafsu Syekh Burhanuddin kepada anak gadisnya tersebut. Karena tak kuat menahan nafsu, ia pergi keluar rumah dan memukul kemaluannya sampai berdarah sehingga ia tak sadarkan diri. Itulah ujian terakhir yang diberikan oleh gurunya. Hingga  beliau wafat ia tak punya keturunan.
Setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di Aceh, akhirnya pada tahun 1070 H Syekh Burhanuddin kembali pulang ke kampung halamannya di Pariaman. Kepulangannya tentu tak lepas dari pertentangan pemuka rakyat jahiliyah, karena Ia membawa agama Islam yang bertentangan dengan hawa nafsu mereka. Namun atas pertolongan Allah, beliau dapat mengalahkan kaum jahiliyah melalui perang yang terjadi di Pulau Angso, Pariaman. Syekh Burhanuddin disambut oleh masyarakat setempat dengan mengantar hidangan untuk dimakan bersama-sama. Setelah berjamu dengan masyarakat, beliaupun sepakat untuk tinggal di Negeri Tanjung Medan. Beliau tinggal di sebuah surau yang menjadi tempat untuk anak-anak belajar mengaji.
Syekh Burhanuddin mengajar anak-anak mengaji dengan cara yang asyik dan mudah diterima oleh anak-anak yaitu melalui media permainan. Begitu juga dengan tingkah laku dan budi pekerti anak-anak beliau ubah sedikit demi sedikit. Tak terasa anak-anak tersebut menganut Islam yang kuat dan bisa menjadi ahli dakwah untuk orang tua yang diterima oleh orang tuanya. Semakin lama makin banyaklah murid beliau yang belajar disana.
 Dahulu, Syekh Burhanuddin pergi belajar ke Aceh bersama empat orang temannya. Yang berempat ini juga pulang ke kampung halaman tanpa sepengetahuan gurunya Syekh Abdul Rauf. Mereka telah mencoba untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing namun tetap tidak ada yang menerima ajaran mereka. Merekapun sepakat kembali lagi ke Aceh untuk minta restu kepada guru dan kalau bisa melanjutkan pelajaran sampai tamat disana. Namun karena mereka telah pergi tanpa pamit kepada Syekh Abdul Rauf, mereka ditolak untuk meneruskan pelajaran disana dan diminta olehnya untuk belajar kepada Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan.
Syekh Burhanuddin merasa mereka yang berempat ini adalah orang yang sama seperguruan dulu dan pantas menjadi guru juga sepertinya. Lalu Syekh Burhanuddin membuatkan surau untuk kawan-kawannya tersebut di Padang Sigalundi tempat mereka mengajarkan anak-anak mengaji juga. Karena mereka merasa belum semahir beliau, maka disepakatilah bahwa pada siang hari untuk belajar kepada Syekh Burhanuddin dan pada malam hari mereka mengajar anak-anak mengaji. Kemudian tempat mereka berempat mengajar mengaji tersebut  terkenal dengan nama Ulakan, berasal dari kata tolak (minang:ulak) karena mereka ditolak oleh gurunya Syekh Abdul Rauf kembali belajar di Aceh dan diminta untuk belajar kepada Syekh Burhanuddin.
Setelah menamatkan pelajarannya kepada Syekh Burhanuddin, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing untuk mengajarkan ilmu yang mereka peroleh. Sesampainya mereka di daerah masing-masing mereka disambut dan dihormati masyarakat setempat. Dengan ajaran Islam, kebiasaan masyarakat yang dahulu sering melenceng dari ajaran agama, baik berupa kebiasaan makan, perilaku beserta adat dan tatanan pemerintahan berangsur-angsur menjadi lebih baik. Peradaban lama jahiliyah dapat diganti dengan peradaban baru Islamiah. Berkat  kegigihan Syekh Burhanuddin dan kawan-kawan menyebarkan agama Islam dengan santun terjadilah perubahan besar di daerah minangkabau, berawal dari sanalah ajaran Islam tersebar dengan pesatnya disegala penjuru tanah air Minangkabau.
Empat puluh tahun lamanya Syekh Burhanuddin bekerja keras siang dan malam mengajarkan agama Islam. Pada tahun 1111 H beliau berhenti dan meninggalkan segala kehidupan duniawi tepatnya 9 Saffar saat itu. Beliau wafat dengan tenang ditemani khalifahnya dan murid-murid beliau, mereka diamanatkan agar beliau dimakamkan di Padang Sigalundi dekat pasir Ulakan. Kemudian setelah kepergian Syekh Burhanuddin ke alam akhirat, sepakatlah para ulama setempat untuk mengadakan ziarah ke kubur beliau pada waktu yang ditentukan. Disamping untuk memperingati hari wafat beliau, ziarah kubur ini bertujuan untuk memperingati jasa beliau yang telah mengembangkan agama Islam di Minangkabau, begitulah asal mula orang bersyafar di negeri Ulakan. Selain kegiatan berkunjung ke negeri Ulakan untuk berziarah, para ulama memanfaatkan tempat tersebut sebagai tempat musyawarah untuk menentukan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan dengan melihat hilal (bulan).
Ket: makam Syekh Burhanuddin tetap banyak dikunjungi apalagi masih dalam rangka Bersyafar meski dalam tahap renovasi
Ket : Pantai Ulakan tempat biasanya yang dikunjungi sewaktu melihat hilal awal ramadhan
Ket: banyak penduduk bermukim dan berjualan di sepanjang gerbang surau dan makam Syekh Burhanuddin

0 komentar:

Posting Komentar