Serambi Mekkah-nya Pariaman
Oleh : Amelia Pu3
Tersebutlah di masa itu seorang ulama
yang berguru ke daerah Aceh, bernama Syekh Burhanuddin. Beliau mendapatkan nama
tersebut setelah berguru kepada seorang ulama yakni Syekh Abdul Rauf yang telah
kembali berguru dari tanah haram, Mekkah. Sebelum pergi menuntut ilmu ke Aceh, Syekh
Burhanuddin yang mempunyai nama sebenarnya adalah Kinun dan sempat bergelar
Pakiah Samparno tersebut telah belajar dengan seorang ulama bernama Syekh Abdul
Arif yang bertempat tinggal di Air Sirah Pariaman.
Keadaan Minangkabau sebelum kedatangan
agama Islam yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin sungguh mengenaskan. Bagaimana
tidak, Minangkabau sebelum masuk agama Islam adalah pusat pertahanan agama
Budha dan agama Hindu di pulau Sumatera. Pada tahun 710 H berangkatlah syekh
Burhanuddin ke Pagaruyung yang menjadi kekuatan agama Hindu dan Budha.
Kedatangan beliau diterima dengan ramah oleh Raja Pagaruyung, beliau bermaksud
mengajak Raja beserta seluruh warga istana untuk masuk Islam. Dengan penjelasan
yang lugas dan lemah lembut maka memeluk Islam lah semua warga Pagaruyung.
Namun Islam tidak bertahan lama disana, banyak yang kembali lagi ke jalan
jahiliyah.
Syekh Burhanuddin berguru ke daerah
Singkil, Aceh pada tahun 1038 H. Ia datang dengan empat kawannya yang bertemu
dengannya di jalan. Setelah menjelaskan riwayat dan tujuan kedatangan
masing-masing maka tahulah Syekh Abdul Rauf bahwa Pakih Pono (red.Syekh
Burhanuddin) ini adalah seorang yang akan menggantikannya kelak. Beliau ingat amanat
gurunya saat di Mekkah dulu yakni Ahmad Al Qasyasyih berkata “setelah engkau
tiba di Aceh nanti akan datang kepadamu lima orang dari Minangkabau, ada salah
seorang yang akan diberi kitab yaitu akan menjadi khalifah. Ciri-cirinya orang tersebut
berjalan dengan kaki pincang.” Amanahnya tersebut telah datang kepadanya yaitu
Pakih Pono yang berasal dari negeri Sintuk Lubuk Alung, Pariaman. Maka nama
Pakih Pono pun diubah menjadi Syekh Burhanuddin.
Selama menuntut ilmu di Aceh, Syekh
Burhanuddin belajar berbagai hal. Beliau adalah orang yang gigih dan patuh
kepada gurunya. Banyak ujian yang dihadapinya, namun beliau tetap tidak
berputus asa. Untuk menghargai kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menuntut ilmu,
Syekh Abdul Rauf gurunya mengajarkan
kitab-kitab yang belum dipelajari teman-teman seperguruannya. Semua kitab telah
dipelajari oleh beliau, makanya dalam belajar bersama teman-temannya beliau
dapat dengan mudah melewati ujian yang dianggap sulit. Syekh Burhanuddin pun
menjadi contoh dan teladan karena kepintaran dan kepatuhannya kepada guru.
Ujian yang paling berat dirasakan oleh Syekh Burhanuddin adalah ketika
diperintahkan oleh gurunya menjaga rumah beliau berdua dengan anak gadisnya.
Anak gadisnya tersebut sangat cantik dan baik pekertinya, terbitlah nafsu Syekh
Burhanuddin kepada anak gadisnya tersebut. Karena tak kuat menahan nafsu, ia
pergi keluar rumah dan memukul kemaluannya sampai berdarah sehingga ia tak
sadarkan diri. Itulah ujian terakhir yang diberikan oleh gurunya. Hingga beliau wafat ia tak punya keturunan.
Setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu
di Aceh, akhirnya pada tahun 1070 H Syekh Burhanuddin kembali pulang ke kampung
halamannya di Pariaman. Kepulangannya tentu tak lepas dari pertentangan pemuka
rakyat jahiliyah, karena Ia membawa agama Islam yang bertentangan dengan hawa
nafsu mereka. Namun atas pertolongan Allah, beliau dapat mengalahkan kaum
jahiliyah melalui perang yang terjadi di Pulau Angso, Pariaman. Syekh
Burhanuddin disambut oleh masyarakat setempat dengan mengantar hidangan untuk
dimakan bersama-sama. Setelah berjamu dengan masyarakat, beliaupun sepakat
untuk tinggal di Negeri Tanjung Medan. Beliau tinggal di sebuah surau yang
menjadi tempat untuk anak-anak belajar mengaji.
Syekh Burhanuddin mengajar anak-anak
mengaji dengan cara yang asyik dan mudah diterima oleh anak-anak yaitu melalui
media permainan. Begitu juga dengan tingkah laku dan budi pekerti anak-anak
beliau ubah sedikit demi sedikit. Tak terasa anak-anak tersebut menganut Islam
yang kuat dan bisa menjadi ahli dakwah untuk orang tua yang diterima oleh orang
tuanya. Semakin lama makin banyaklah murid beliau yang belajar disana.
Dahulu, Syekh Burhanuddin pergi belajar ke
Aceh bersama empat orang temannya. Yang berempat ini juga pulang ke kampung
halaman tanpa sepengetahuan gurunya Syekh Abdul Rauf. Mereka telah mencoba
untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing namun tetap tidak ada
yang menerima ajaran mereka. Merekapun sepakat kembali lagi ke Aceh untuk minta
restu kepada guru dan kalau bisa melanjutkan pelajaran sampai tamat disana.
Namun karena mereka telah pergi tanpa pamit kepada Syekh Abdul Rauf, mereka
ditolak untuk meneruskan pelajaran disana dan diminta olehnya untuk belajar
kepada Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan.
Syekh Burhanuddin merasa mereka yang
berempat ini adalah orang yang sama seperguruan dulu dan pantas menjadi guru
juga sepertinya. Lalu Syekh Burhanuddin membuatkan surau untuk kawan-kawannya
tersebut di Padang Sigalundi tempat mereka mengajarkan anak-anak mengaji juga.
Karena mereka merasa belum semahir beliau, maka disepakatilah bahwa pada siang
hari untuk belajar kepada Syekh Burhanuddin dan pada malam hari mereka mengajar
anak-anak mengaji. Kemudian tempat mereka berempat mengajar mengaji
tersebut terkenal dengan nama Ulakan, berasal
dari kata tolak (minang:ulak) karena
mereka ditolak oleh gurunya Syekh Abdul Rauf kembali belajar di Aceh dan
diminta untuk belajar kepada Syekh Burhanuddin.
Setelah menamatkan pelajarannya kepada
Syekh Burhanuddin, mereka kembali ke kampung halaman masing-masing untuk
mengajarkan ilmu yang mereka peroleh. Sesampainya mereka di daerah
masing-masing mereka disambut dan dihormati masyarakat setempat. Dengan ajaran
Islam, kebiasaan masyarakat yang dahulu sering melenceng dari ajaran agama,
baik berupa kebiasaan makan, perilaku beserta adat dan tatanan pemerintahan
berangsur-angsur menjadi lebih baik. Peradaban lama jahiliyah dapat diganti
dengan peradaban baru Islamiah. Berkat kegigihan Syekh Burhanuddin dan kawan-kawan
menyebarkan agama Islam dengan santun terjadilah perubahan besar di daerah
minangkabau, berawal dari sanalah ajaran Islam tersebar dengan pesatnya
disegala penjuru tanah air Minangkabau.
Empat puluh tahun lamanya Syekh
Burhanuddin bekerja keras siang dan malam mengajarkan agama Islam. Pada tahun
1111 H beliau berhenti dan meninggalkan segala kehidupan duniawi tepatnya 9
Saffar saat itu. Beliau wafat dengan tenang ditemani khalifahnya dan
murid-murid beliau, mereka diamanatkan agar beliau dimakamkan di Padang
Sigalundi dekat pasir Ulakan. Kemudian setelah kepergian Syekh Burhanuddin ke
alam akhirat, sepakatlah para ulama setempat untuk mengadakan ziarah ke kubur
beliau pada waktu yang ditentukan. Disamping untuk memperingati hari wafat
beliau, ziarah kubur ini bertujuan untuk memperingati jasa beliau yang telah
mengembangkan agama Islam di Minangkabau, begitulah asal mula orang bersyafar
di negeri Ulakan. Selain kegiatan berkunjung ke negeri Ulakan untuk berziarah,
para ulama memanfaatkan tempat tersebut sebagai tempat musyawarah untuk menentukan
awal Ramadhan dan akhir Ramadhan dengan melihat hilal (bulan).
Ket: makam Syekh Burhanuddin tetap
banyak dikunjungi apalagi masih dalam rangka Bersyafar meski dalam tahap
renovasi
Ket : Pantai Ulakan tempat biasanya
yang dikunjungi sewaktu melihat hilal awal ramadhan
Ket: banyak penduduk bermukim dan
berjualan di sepanjang gerbang surau dan makam Syekh Burhanuddin