Selasa, 08 Maret 2016

when you asking me, who am i?

                                    
Siapa aku?

Saat kau lihat beberapa anak muda sedang becanda di pinggir jalan, mengejek satu sama lain dan saling tertawa itu mungkin saja adalah aku. Lalu saat kau melewati halte bis, lihat saja kalau ada yang tak sabar menunggu ataupun bolak balik melihat kedatangan bus mungkin saja itu aku. Ketika kau melihat salah seorang penumpang bis/kereta tertidur dengan wajah tertutup masker bisa jadi itu aku. Dan ketika kau turun dari bis, perhatikan saja jika ada yang membawa banyak tentengan dari kampung sehabis liburan semester bisa jadi itulah aku.

Aku adalah anak kampung polos dan lugu yang sedang mencari jati diri dan mencoba menjadi orang berkarakter dengan cara menuntut ilmu. Sangat gampang sekali tertawa. Mudah terharu. Suka ngomong seadanya. Tak suka pilah-pilih teman. Suka gugup jika harus bicara di depan umum. Suka keselipan bahasa daerah jika sedang berinteraksi di kelas. Suka sekali mendengar musik. Apalagi musik pagi asrama yang menentramkan hati. Serasa di pesantren, kata temanku. Duh, aku pengen sekali jadi santri. Punya hafalan, ibadah tepat waktu, dan lancar ngomong bahasa Arab. Aku senang sekali mendengarkan curhatan teman, dengan sesekali menimpali bahwa “aku berbeda” atau “ternyata kita sama”.

Dari kerabat dan dari teman yang suka kupinjam novelnya mereka bilang aku suka membaca. Dari teman-teman sepermainanku mereka bilang aku cukup pintar. Dari Bu Guru yang nilai Bahasa Indonesia ku bagus, katanya aku jago bikin puisi. Dari sahabat pena yang kukirimi surat katanya tulisanku menyentuh. Dari guru musik, aku belajar memainkan nada yang katanya musikku sumbang. Dari guru kesenian, aku sering dapat pujian katanya lukisanku hidup. Dari guru Matematika, logikaku bagus tapi memang cenderung ceroboh. Dari keluargaku sendiri mereka bilang aku teledor, payah, dan boros. Tapi apapun kata mereka, aku setuju. Aku adalah apa yang orang lain nilai tentang diriku.

Seiring bergantinya waktu, berkurangnya usia, dan bertambahnya umur. Sekarang aku menyadari bahwa aku bisa saja membuat semua orang terkesan. Dengan cara apa? Ya dengan cara lulus Perguruan Tinggi favorit di kota ini. Lalu tinggal jauh dari orang tua, sekarang mereka bisa lihat kemandirianku bertahan hidup dalam keterasingan. Lalu saat kampus mewajibkan ikut acara Bina Bakat Minat dan Kepemimpinan, aku seperti menemukan kembali caraku merayakan hidup. Disini aku belajar, bahwa kita sebagai manusia punya bakat sejak lahir. Jika tidak mengasahnya maka bakat tersebut tak berarti apa-apa. Berbeda dengan minat, ini merupakan suatu daya tarik terhadap suatu hal setelah menjalani metamorfosa hidup. Lalu jika bisa mengasah bakat dan mengetahui minat kita, maka kita sudah bisa jadi leader minimal bagi diri sendiri.

Aku bukanlah gadis yang selalu riang seperti kebanyakan orang lain lihat. Aku juga bukanlah anak manis yang baik hati seperti yang orang lain lihat. Aku juga bukan orang kaya banyak harta, terbukti dari lolosnya aku sebagai mahasiswa penerima beasiswa. Aku bukanlah orang yang pintar di kelas,  tapi selalu berusaha untuk belajar lebih serius. Aku bukan juga orang yang selalu cuek terhadap penampilan, tapi aku usahakan agar penampilanku nyaman dan terlihat simpel. Aku juga bukan orang cantik yang menjadi bunga desa. Pandai memasak apalagi, masih jauh dari kemampuanku sebagai perempuan minang. Entah siapalah aku ini, banyak bukannya saja. Hahaha

Riang adalah caraku menyembunyikan luka. Bersikap manis di depan orang yang lebih tua, adalah caraku agar tidak diceramahi.  Selalu berusaha terlihat cukup materi di depan teman-teman, agar mereka tak mengasihi hidupku yang serba pas-pasan. Terlihat begitu menjaga penampilan, tentunya bukan dengan barang pinjaman. Aku selalu berusaha agar apapun yang aku kenakan, tidak mencontoh gaya orang lain. Aku ingin jadi diriku sendiri.

Hari ini aku tertohok, banyak sudah peristiwa per-teman-an yang membuatku jera. Tak kusangka, hidupku selalu mengalami pertemanan yang sulit. Mencari musuh sangatlah gampang menurutku, namun mencari teman susahnya minta ampun. Tak jarang aku harus berkorban waktu, perasaan, materi, bahkan teman itu sendiri untuk mendapatkan teman lainnya. Kadang aku iri dengan pertemanan yang dimana ada si A pasti ada si B, atau sebaliknya. Aku juga ingin seperti itu kadang-kadang.  

Lalu hari berikutnya aku bahagia. Banyak teman yang peduli tentang nasibku. Bertubi-tubi BBM masuk, untuk mengingatkan dosen pembimbingku sudah di kampus atau ketika aku ulang tahun. Lalu juga ada teman yang meluangkan waktunya untukku. Menemaniku ke gramedia, berenang, penelitian, bahkan hanya untuk sekedar killing time bareng. Kadang aku merasa sibuk sendiri punya banyak teman yang berbeda karakter. Misalnya Senin, menemani si A sampai selesai sidang. Selasa menjadi kurir snack si B yang mau seminar. Rabunya jadi ojek si C ke toko kimia. Kamis jadi tour guide teman beda kampus yang mau pinjam buku di perpus. Jumat dan Sabtu nginap di sekretariat pers mahasiswa nemanin mbak PU yang lagi galau. Sibuk ciin J

Kadang hidupku sepi melompong gak ada teman yang bisa diajak ngomong. Kadang rame betul sampe-sampe dibilang banyak fans karena semuanya ngajak aku ngomong. Kadang ceria banget karena tulisanku terbit, atau saat ditransfer duit sama kakak. Kadang melarat banget sampe galau mau puasa aja seminggu atau ngutang sama teman. Kadang benci banget liat teman sahabatan berdua terus kayak perangko. Kadang senang banget dengan kesendirian karena bebas kemana-mana sesuka hati. Kadang gabut banget, gak tau mau ngapain kayak orang begok. Kadang sibuk banget sampe-sampe waktu 24 jam buat menyelesaikan target sehari itu gak cukup.

Paling kesal sama orang cuek, gak peduli sekitar. Aku orangnya bisa dibilang cukup ramah, mudah tersenyum, atau penyapa (preet) emang iya. Tapi kalau udah dicuekin sekali-dua kali. Jangan harap bakal mendengar sapaan aku lagi. Capek dikacangin. Paling malas berinteraksi sama orang pemalas. Malas bangun, malas mandi, malas bersih-bersih, malas beresin rumah, malas keluar rumah, malas berinteraksi sama orang lain, kecuali orang-orang tertentu. Atau sekedar menjawab tanya kita aja malas, ngapain bertanya toh gak bakal dijawab. Kadang aku berpikir sendiri, bagaimanalah nasib mereka (si pemalas) di masa depan. Sedangkan untuk makan perut sendiri aja, malas mencari keluar. Ujung-ujungnya nitip ke teman. Plis deh, jangan ngandalin teman melulu, gerakin badan lu. Katanya pemuda Indonesia, katanya mau majuin negeri sendiri, lha untuk dapat mengisi perut aja nitip terus.

Paling geram lihat orang yang membeda-bedakan sikap ke teman. Aku paling anti sikap begini nih. Di depan orang banyak mereka ketawa-ketiwi. Di depan kita, atau sebut saja face to face sama aku, dia malah manyun atau diam seribu bahasa. Bukan seorang-dua orang nih yang begini. Paling kecewanya itu ya, sama teman kita sendiri dia ngomongnya beuh lancar deras tralala dan selalu ada bahan omongan. Giliran kita nanya, jangankan ditanggapin, malah telinganya jadi budeg seketika. Entah efek teknologi, atau peraturan darimana yang berlaku : kalau di depan orang ramai pasang muka seramah mungkin, seceria mungkin dan semenarik mungkin. Di depan saya, jangankan pasang tampang bermuka dua (di luar senyum, di dalam manyun) malah pasang tampang pura-pura gak kenal. Haduh, haruskah aku bersenandung “Apa salahku? Kau buat begini, kau tarik ulur hatiku hingga sakit yang kurasa...”.

Aku sebenarnya orang yang easy going, santai, care, dan idealis. Tapi akhir-akhir ini karakterku itu seperti sedang susah keluar. Banyak faktor penyebabnya. Bisa saja karena orang yang kutemui setiap hari di tempat tertentu terlihat manyun, akupun jadi malas senyum. Bisa jadi orang yang sering kutemui akhir-akhir ini tidak begitu care, aku malah jadi ketularan cuek. Bisa juga karena tidak menemukan kriteria orang yang santai, mengajakku berinteraksi dan membuatku nyaman. Atau memang sudah ditakdirkan untukku, bahwa di tahun-tahun akhir masa studiku sebagai mahasiswa S1 aku akan menemukan orang-orang berwajah masam, sering berkata kasar, orang yang sudah punya partner in crime masing-masing, atau menjadi orang idealis yang tulisannya disebut provokator atau pemecah belah silaturahmi. Ah, sudahlah anggap saja ini intermezo hidupku. Bisa jadi disini aku diberikan training untuk menjadi leader mereka nantinya. Biar jika nanti aku jadi bos, aku sudah bisa mengantisipasi karakter bawahan yang aku pimpin.


Begitulah aku, si mahasiswa tahun akhir yang nyaris bangkotan di kampus. Sampe-sampe karakter yang aku idam-idamkan tergilas karena jadwal hidup mahasiswa tahun akhir tak menentu. Beda dengan semasa masih kuliah dulu, jadwal kita ada. Target bisa kita tentukan. Nah sekarang, jadwal bisa berubah sepanjang waktu. Karakter pribadi sedang berada di puncak dan bisa mencapai titik labil selabil-labilnya.

Semoga gelar mahasiswa tahun akhir ini cepat lepas. Semoga kejadian demi kejadian di tahun akhir ini menjadikan aku orang yang tangguh. Semoga apa yang orang sangkakan terhadap kejelekanku terjawab karena semua yang kulakukan adalah untuk meyakinkan orang-orang dan membuat mereka belajar dari pengalaman hidupku. 

0 komentar:

Posting Komentar